Jumat, 02 Desember 2011

Novel Sari "Last Gift"

Diminggu siang  itu  mentari  membubuhkan  secercah  cahayanya menyinari bumi, dengan hembusan angin riuh namun lembut membelai gorden bergambar dedaunan berwarna hijau muda seolah menari terbawa hembusannya masuk dalam sebuah kamar bercatkan hijau muda yang tertata rapi dengan meja belajar dengan warna cat yang selaras dengan dindingnya. Tepat menghadap jendela  keluar sehingga tampak jelas kehijawan dengan pohon- pohon liar di luarnya.
 Dengan pandangan kosong kumenatap pepohonan rindang dari balik jendela kamarku, sejenak rambutku yang terurai dibahu bergerak lembut karena hembusan angin yang seolah memanggilku dan membuat Aku tersadar dari lamunanku.
Akupun beranjak dari dudukku dan bergegas meninggalkan kamar menuju dapur. Kumerasakan kering yang lekat dikerongkonganku dengan menuju kerak piring dan kemudian mengambil gelas seraya menuangkanya air ke dalamnya, setelah minum dan kurasakan lega pada kerongkonganku.
Aku mengalihkan pandanganku pada ibu yang sibuk memotong bawang di sudut kanan dapur yang berbentuk persegi panjang, yang kemudian Aku melangkahkan kaki mendekatinya. Yang seperti biasanya setiap hari minggu Aku membantu ibu memasak serta beres-beres rumah. Aku adalah siswi yang cerdas di kelas II SMP Negeri 1 Ciamis Bandung, Aku cukup berprestasi di sekolah. Aku juga mendapat banyak teman di sekolah.  Aku anak tunggal dari pasangan Ibu Ida dan Bapak Toni.

Salah satu 
sahabat yang sangat akrab denganku yang sering kusapa dengan sebutan Wahyu endut karena badannya yang begitu besar sehingga teman-teman sekolah yang lain juga menyapanya demikian dan Winda bawel yang juga sering kusapa karena itulah  nama sebutan dari teman-teman di sekolahku. Winda adalah teman sebangku denganku yang selalu mau berbagi denganku. Kami berduapun sangat dekat seperti kakak dan adik.
“Bu mau masak apa nii ?......... Tanyaku pada ibu seraya mendekati dan memperhatikan tangannya yang sibuk memotong bawang.
“Sari mau makan apa siang ini ?....Ibu balik bertanya padaku, sambil memotong bawangnya’’
‘’Hemm’’. Dengan menggaruk-garuk kepala sambil berpikir, kemudian Aku mendapatkan ide sehingga Akupun berteriak kecil sambil menepukkan tanganku.
‘’Ahaaa……Sari mau sate kambing Bu‘’. Saranku pada ibu. Ibu hanya memandang wajahku dengan lekat, kemudian tesungging senyuman J dari bibir tipisnya. Akupun membalasnya dengan senyum J bahagia.
‘’Ok, jawab ibu’’. Seraya mengambil piring dan meletakkannya diatas meja dapur.
‘’Kalau Sari mau sate bantu ibu ambil daging sepotong, yang kebenaran ibu simpan setelah berbelanja kemarin dikulkas, lalu Sari cuci dan potong dadu kecil nanti biar ibu yang tusukin dan racik bumbunya.’’  Pinta ibu padaku.

‘’Siap bu’’, dengan semangatnya Aku menjawab dan bergegas menuju kulkas disampingku, kemudian mengambil sepotong daging yang di perintahkan ibu kepadaku. Ibu kembali 
J tersenyum melihat semangatku yang membantunya memasak hari itu. Karena Ia tau kalau aku sangat menyukai sate kambing.
Keakraban dan kasih sayang terpancar yang terlihat dari raut wajah kami, hingga membuat kami tampak serasi dalam apapun yang kami pikirkan dan membuat keluarga kami terasa lebih nyaman, walau kami hanya bertiga dalam satu rumah.
Nama Sari adalah nama panggilan dari kedua orang tuaku. Nama lenggkap yang mereka berikan padaku adalah Purnama Sari yang artinya, bunga mekar di bulan yang penuh yaitu ( bulan purnama ). Itulah nama yang yang mereka berikan kepadaku.
***
Sementara waktu telah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Akupun tak sabar ingin segera makan siang, karena sate kambing kesukaaku sudah ada di depan mataku, yang kini sudah siap untuk dipanggang.
‘’Ibu sudah menyiapkan bumbu sate Sar”. Sapa ibu padaku dengan mendakat padaku dan menyodorkan mangkuk berisi bumbu sate. Aku hanya menoleh sekilas padanya dan menjawab tegurannya.
‘’Yaa bu. Sari juga sudah selesai”. Dengan kusodorkan daging yang siap dipanggang. Setelah memanggang sate kamipun bergegas menyajikan makan siang, dengan menatanya di atas meja makan. Setelah tersaji rapi ibu memintaku memanggil ayah untuk makan bersama.
‘’Kamu ajak ayah makan gih, semua sudah siap nii’’. Pinta ibu padaku. Seraya menyusun piring dimeja makan.
“Oke, bu”. Dengan semangat hormatku kepada ibu. Ibu tersenyum J dengan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku yang begitu semangatnya.
Akupun bergegas melangkahkan kaki menuju kehalaman luar rumah, yang mana ada ayah dengan duduk santainya di teras halaman rumah, Ayah menikmati suasana nyaman yang ada disana, karena terdapat pepohonan jati yang rindang dan tampak subur disana, juga dihiasi dengan indahnya bunga mewar yang ingin menampakkan mekar dalam kuncupnya. Menambah indah panorama halaman rumah.
Bunga mawar tersebut adalah bunga kesukaan ibuku, yang mana selalu Ia rawat dengan teratur. Dengan menarik tangan ayahku yang duduk santai menikmati suasana taman yang hijau dan indah. Aku mendekatinya kemudian menyapanya dengan nada lembut.
“Yah ayo makan uda laper ni’’. Sapaku dengan dahi berkerut dan memonyongkan bibirku seraya menarik tangannya dengan manja.
‘’Ia....’’. Jawab ayah singkat dan beranjak dari duduknya, yang kemudian mengikuti ajakanku menuju keruang makan. yang mana dimeja makan telah di penuhi dengan hidangan yang tersusun rapi dan siap santap.
Sementara ibu menunggu kami dengan menuangkan air kedalam gelas, kamipun duduk bersama dimeja makan, serta makan bersama.
***
Setelah lebih kurang lima belas menit kami melahab makanan hingga meja makan berantakan dengan piring kotor usai kami makan siang. Akupun merapikan dan memberesi piring kotor kemudian Aku bawa kedapur guna dicuci nantinya. Ketika aku mengelap meja dan membersikannya ibu menyapaku.
 ‘’Sar kamu tahu tidak, kamu ulang tahun lo hari ini’’. Ibu memberi tahukanku, bahwa hari itu adalah hari ulang tahunku
‘’Owh yaa”. Nadaku terkejut dan dengan sembringanya Aku langsung meminta kado pada ayah dan ibunku. Karena Aku benar-benar lupa akan ulang tahunku yaitu tepat hari itu, minggu tanggal 10 oktober.
‘’Ayah, Ibu mana kadonya untuk Sari ?”.  Pintaku kepada ayah dan ibu.  
Yang kemudian ibu beranjak dari tempat duduknya menuju kamarnya sementara ayah hanya tersenyum melihat raut manjaku yang mengharap kado darinya dan ibunya. Mataku tertuju pada ibu yang beranjak dari kursinya dan meninggalkanny pergi menuju kamar dan akupun menanyakannya kepada ayah.
“Yah apakah ibu mengambil kado untuk Sari ?.’’ Tanyaku pada ayah yang penasarannya pada ibu yang langsung beranjak dari kusinya, tampa basa basi lagi dan langsung menuju kamarnya.
‘’Lihat saja nanti setelah ibumu keluar yaa’’. Ayah menjelaskannya kepadaku.
Aku tampak gusar menanti ibun keluar dari kamarnya. Lebih kurang lima menit kami menanti ibu keluar dari dalam kamar, namun ibu belum keluar juga Akupun beranjak dari tempat dudukku. Aku ingin sekali melihat ibu. Apa yang ibu kerjakan di kamarnya”. Aku masih bertanya-tanya dan penasaran.
“Sari tunggulah sebentar biarkan ibu yang memberikan kamu kejutan natinya” Tegur ayah kepadaku. Agar aku tak begitu penasaran, karena ayah tau aku sangat penasaran pada ibu yang berada dikamarnya.
‘’Yah ayah’’. Jawabku kecewa. Sambil membersikan meja makan dan merapikan cangkir bekas ibu minum. Sesekali Aku menoleh kearah kamar ibu menantikan Ia keluar dari kamarnya.
‘’Kamu tunggu sebentar ya!!, biar ayah yang lihat ibumu‘’. Dengan beranjak dari kursinya menuju kekamar. Sementara didalam kamar ibu hanya duduk terdiam memegang kepalanya. Ia melihat kotak yang sudah dibungkusnya rapi dengan sampul kado bergambar balon berwarna merah muda dan  biru.
“Ibu kenapa ?”. Tanya ayah, sambil mendekati ibu dan meraih kado dari pandangannya dan duduk menghadap ibu.
‘’Kepalaku sedikit pusing yah, apa karena makan sate barusan”. Jawaban ibu lemas dengan memijat-mijat kepalanya sendiri.
“Astagfirullah bu “. Dengan terkejutnya Ayah beristifar dan mengingat sakit ibu yang pernah diperiksakan kedokter seminggu yang lalu.
‘’Bukankah kamu mempunyai hipertensi kenapa kamu makan sate.’’ Dengan perkataan kecewa ayah mengutarakann perasaanya pada ibu.
‘’Maafkan ibu yah, ibu tidak ingin dihari ulang tahun Sari ini, membuat Ia sedih’’. Ibu berbicara dengan tetesan air mata yang kemudian mengalir kepipi halusnya. Ayah hanya bisa mengehela nafas kemudian mengusap air mata ibu serta memberikan minyak angin yang ada di atas meja rias ibu, lalu menggosokannya pada leher dan jidad ibu.
‘’Sudah enakan yah’’.  Jawab ibu seraya berdiri dengan memukul kecil bahunya sendiri.
 ‘’Yakin’’. Jawab ayah yang memperhatikan ibu dengan ragu. Ibupun langsung beranjak dari duduknya dan melangkahkan kaki keluar dari kamarnya yang diiringi ayah dari belakangnya, dengan membawa kotak persegi yang sudah rapi Ia bungkus dengan warna balon biru dan merah muda, membuat mataku terbelalak lebar dan tersenyum ria melihatnya.
“Itukah kado untuk Sari bu ?.’’ Dengan riang kubertanya pada ibu mendekat dan duduk kekursinya. Kemudian diberikannya kotak itu kepadaku.
“Ya’ ini dari Ibu,’’  Seraya menyodorkan kado kepadaku.
 ‘’Maaf yaa, ibu tidak buatkan kamu kue ulang tahunnya. Seraya memberikan kado ketanganku. Dengan tak sabar menerimanya dan kuucapkan terimakasih padanya.
‘’Terima kasih bu. Sari tidak ingin kue bu, cukup dengan kado ini  sari sudah cukup bahagia. Seraya ku memegang erat kado ibu dan menciumi kanan kiri pipi nya.
‘’Ayah tersenyum dan duduk disampingku dengan membelai rambutku dengan penuh kasih sayangnya.
“Sari mau kado apa dari ayah ?. Tanya ayah kepadaku. Akupun langsung mejawabnya lugas.
“Bagai mana kalau nanti sore kita jalan-jalan kepuncak yah’’. Saranku kepada ayah.
“Ok.’’. Kita jalan kepuncak nanti sore. Jawab ayah yang langsung menyetujui saran dariku.
‘’Asik....... Kita bisa jalan-jalan nanti sore”. Dengan tepuk tangan dan senyum J riangku karena mendengar persetujuan ayah akan mengajak aku jalan-jalan kepuncak nanti sore.
Sementara ibu hanya tertunduk diam namun Ia tersenyum J melihat keceriaanku, anak kesayangannya yang sedang berbahagia  dihari ulang tahunny.
***
Dengan tak sabar ingin melihat isi kado pemberian ibu. Akupun bertanya padanya.
‘’Bu boleh yaa sekarang Sari buka kadonya ‘’. Sambil membolak balik kado ditanganku.
‘’Buka saja nak”. Jawab ibu sedih. Dengan menitikan air mata ke pipinya.Apun langsung mendekatinya.
‘’Ibu kenapa menagis”. Tanyaku kepada ibu dengan curiga melihat tangisnya.
“Ibu hanya menangis bahagia nak, ibu bisa memberikan kado untukmu”. Jawab ibu dengan lirih.
‘’Ibu jangan menangis”. Dengan mendekap dan mengusap air matanya,  lalu ibupun membalas dekapanku. Membuat suasana menjadi haru, ayah mendekat dan Iapun ikut mendekap, kami saling berdekapan dengan meluapkan kasih sayang kami.
“Sekarang boleh dong Sari buka kadonya”. Pintaku pada ibu dan ayah seraya melepas pelukannya yang mendengar perkataanku. Setelah saling melepas pelukan. Aku bersegera membuka kado dengan perasaan ragu dan berdebar-debar kubuka sampulnya. Ayahpun lansung mendekat dan menyambar kotak yang sudah kubuka sampul kadonya.
‘’Eitt tunggu dulu apasih do’a dan harapan Sari diulang tahun yang ke 13 tahun ini’’. Tanya ayah dengan senyumnya J kepadanku.
‘’Sari hanya ingin Ayah dan Ibu diberiNya kesehatan selalu, serta Sari bisa membalas jasa ayah dan ibu nantinya.
Ayah yang duduk disampingku langsung mendekap erat  tubuhku dan ibupun menangis terharu mendengar do’a dan harapanku .
‘’Sekarang boleh ya Sari buka kadonya”.  Pintaku pada ayah dan ibu.
‘’Buka saja jawab ibu sambil menyapu air matanya dengan selembar tisu. Ayah pun menimpali perkataan ibu.
‘’Hati–hati itu kodok dan sarung tinju isinya’’. Sambil tertawa kecil J’’. Ayah memberi tahukan kepadaku isi dari kado yang ibu berikan kepadaku, karena ayah melihatku dengan wajah yang begitu penasaran dengan isi kado yang diberikan ibu kepadaku. Hingga Iapun menaku-nakutiku. Dengan ragu dan takut Aku membuka kadonya, setelah mendengar perkataan ayah karena Aku sangat takut dengan kodok .
‘’Ah ayah yang benar ni... Kok isinya kodok ?.’’ Tanyaku kepada ayah, tak berani membuka kadoku. Ibu langsung berbicara.
“Buka saja Sari ayah kamu cuma bercanda, mana mungkin ibu kasi kamu kodok.  Kamukan takut kodok, masak ibu kasi kodok”. Dengan tertawa J kecil ibu menerangkan isi kado pemberiannya agar  Aku tidak merasa takut.
Setelah Aku membuka kadonya betapa terkejutnya Aku, dan Aku tak menyangka. Ibu mejahitkan baju muslimah untukku, yang mana pernah Aku pinta sewaktu Aku ingin mengikuti lomba pakaiyan muslim di sekolah dulu.
Kini Aku telah mempunyai baju muslimah baru berwarna hijau muda bercampur hitam yaitu warna kesukaanku. Lengkap dengan jilbabnya dan Aku langsung mengenakannya. Dengan celotehan bahagianya.  Aku meperlihatkan baju yang Aku pakai, sambil bergaya seperti pragawati. Aku menekan pinggang dengan sebelah tanganku menghadap ayah dan ibu, yang memandingku lekat.
‘’Bu lihat Sari pakai baju muslimanya’’. Sapaku pada ibu yang sambil bergaya di hadapan mereka.
“Kamu suka, pas bajunya dikamu sar’’. Dengan memandang lekat ketubuhku yang menggunakan pakaiyan hasil jahitan tangannya sendiri.
“Gelis Sari, kamu memang anak ayah yang gelis pisan’’. Puji ayah kepadaku.
“Terimakasih ayah ibu”. Jawabanku kepada ayah dan ibu, Sambil memandangi pakaiyan yang kukenakan kemudian Aku lansung melepasnya.
“Sari suka bu”.  Dengan melipatnya kembali dan melangkah membawanya kedalam kamar.
“Bu”. Sapa ayah pada ibu yang sibuk dengan menata piring yang berisi lauk dan menaruhnya kerak makan, dengan padangan lekat  ayah memandang ibu.
Ada apa yah”. Sambil menata lauk pauk kelemari makan, ibu menoleh ayah yang masih duduk dimeja makan yang menatapnya dalam .

‘’Apakah kita harus kasih tau Sari tentang penyakit ibu ini, ayah merasa tidak enak bu. Ia akan mencurigai kita karena lambat laun Ia akan tau semua ini walau kita menutupinya. Ia sudah beranjak dewasa bu. Ia akan mengerti betapa sakit dibohongin.’’
‘’Ayah juga tidak yakin kalau ibu bisa menahan semua ini, karena penyakit yang ibu derita ini banyak pantangannya bu.’’ Pinta  ayah pada ibu, yang kemudian ibu duduk mendekati ayah.
”Ayah jangan begitu khawatir Sari akan kita kasi tau, namun tunggu waktu yang tepat bukan sekarang. Bagaimana pas Ia lulus SMP nanti, karena Ia akan memahami semuanya, dan bisa menerimanya, karena usianya kini masih labil Ia belum banyak mengerti soal orang dewasa.’’
‘’Baiklah kalau itu mau ibu, tapi ibu harus ingat. Kalau ibu itu banyak pantangan. Jangan sampai nanti ibu lupa dan melanggarnya. Bukankah dokter juga telah memberitahukan pda ibu tentang itu”. Dengan wjah khwatir dan memperingatkan ibu. Ayah berkata tegas pada ibu yang duduk disampingnya.
’’Dengan menepuk bahu ayah dan beranjak dari kursinya melangkah keluar rumah dan meninggalkan ayah, ibu menjawab pekataan ayah.
“Baik ayah’’. Ibu tau itu. Ayahpun beranjak dari duduknya dan menuju ruang depan dan duduk di sofa hijau muda dengan meja berbentuk lekukan lonjong dengan koran di atasnya sambil menyalakan televisi ayah duduk menjulurkan kakinya. Sementara ibu bejalan kehalaman rumah yang mana terlihat subur dengan tanaman bunga mawar kesayangannya. Iapun merapikannya.
***
Aku tertidur pulas dikamarnya, sementara waktu sudah menunjukkan pukul 15:20 WIB. Ibu segera menyiapkan makanan dan pakayan untuk pergi kepuncak dan bersegera menuju kamarku dan membangunkaku.
“Sar bangun yuk, katanya mo jalan kepuncak, sudah sore ni...nanti kesorean’’. Sambil menggoyang tubuhku yang tertidur.
            “Howammmm’’.  Dengan menahan kantuknya akupun terbangun.
            “Oh ia, ayah mo ajak Sari jalan-jalan”. Timpalku dengan beranjak dari tidur lalu menghadap ibu yang telah duduk disampingku.
“Ayah sudah mandi, Sari mandi duluan yaa nanti baru ibu yang mandi biar ibu yang siapin semuanya keperluanmu  nantinya”. Akupun segera bangkit dari kasurku dengan menjawab pekataan ibu.
“Baik bu Sari mandi dulu yaa’’. Izinku seraya keluar dari kamar menuju kamar mandi. Ibupun langsung memberesi tempat tidurku dan menyiapkan pakaiyan dan kebutuhanku lainnya. Sementara ayah di ruang tamu sibuk dengan peralatannya dan menyiapkan semuanya serta memasukkannya kedalam mobil.
“Bu Sari sudah bangun belum  ?“. Tanya ayah dari luar kamar yang terdengar jelas oleh ibu. Karena kebetulan pintu kamarku terbuka, hingga suara dari ruang tamu tampak jelas terdengar ketelinga ibu, yang sibuk dengan menyiapkan semua keperluanku.
‘’Sudah mandi yah, tunggu sebentar ibu juga mau mandi.” Jawab ibu dari kamarku yang kemudian bergegas keluar. Sementara Aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung melangkahkan kaki menuju kamarku dan segera berberes untuk persiapan pergi.
 Setelah berpakaiyan aku menemui ibu kekamar mandi namun ibu sudah menguncinya. Akupun hanya menegurnya dari luar pintu kamar mandi
“Tok……..tok…..Bu kami tunggu diruang tamu yaa “. Sapaku pada ibu dari balik pintu kamar mandi yang terkunci.
“Ya ‘’. Balas ibu tampa basa-basi yang mempercepat mandinya.
Akupun meninggalkannya menuju ruang tamu, dimana ada ayah yang duduk manis, menunggu kami seraya menonton televisi.
***
Waktu telah menunjukan pukul 15:55 WIB. Aku duduk disamping ayah yang asik menonton televisi .  
“Ayah besokkan Sari sekolah boleh yaa  Sari ajak teman-teman Sari kerumah buat acara kecil ulta Sari “. Pinta sari pada ayahnya
“Memang Sari mau buat acara apa ?.” Tanya ayah kepadaku.
“Do’a bersama dan makan-makan, ayah’’. Sari berharab pada ayahnya  bisa menyetujui  permintaanya itu.
“Nanti malam kita rundingin lagi sama ibumu”. Jawaban tegas ayah membuatku tidak sabar namun kuanggukkan kepala dengan mengerti atas pertkataan ayah, karena ibu juga harus tau acaranya.
Tak lama kemudian ibu yang usai mandi langsung menghampiri kami. Dengan berpakayan muslimah biru dan berjilbabkan hitam, membuat ibu terlihat lebih cantik dan muda. Diusianya yg ke-39 tahun tak menampakkanya . Ia terlihat lebih mudah dari usianya.
“Ayo kita berangkat, sudah soreni nanti kemagriban pulangnya’’. Ajakan ibu membuat kami segera bangkit dari duduk dan melangkah kaki segera keluar dari ruang tamu menuju mobil yang mana telah diparkir ayah di luar pagar rumah.
Ibu berjalan mendekat dan menggandeng tanganku menuju mobil Innova Black. Kamipun masuk kedalam mobil . Ibu duduk dibelakang ayah dan Aku disampingnya. 
“Sar sini lihat ibu”. Seraya mengelurkan handphone dari kantongnya kemudian memotoku.
“Sari bawa tustel bu’ ini ‘’. Aku memberikan pada ibunya. Ayah melirik kami dari balik kaca mobil Ia sambil berkata.
“Nanti di puncak kita foto-foto ya”. Dengan senyum J tipisnya  Ia mengajak kami untuk berfoto di puncak nantinya.
“Ok ayah”. Jawab ku denga senangnya.
Tak lama kemudian kami tiba di sebuah puncak penuh dengan kehijawan peohonan teh. Ayah menepikan mobil di bawah pohon beringin rindang dan mengajak kami turun .
“Ayo turun” Ajak ayah sembari turun dari mobil dan mengunci mobil. Dengan pandangan takjub Aku memandang sekelilingnya. “Betapa indah pemandangannya”. Aku bergumam dalam hati, ibu segera mengrahkan sustel dan mengambil pemandangan disana, kamipun berfoto-foto ria hingga takterasa waktu telah menunjukkan pukul 17:20. Kamipun mulai lelah dan lapar ibu menuju mobil untuk mengambil makanan yang sudah kami siapkan dari rumah .
Kamipun membentang tikar di sebelah pepohonan teh yang terdapat danau yang tenang disampingnya yang mana penuh bermacam kupu-kupu indah beterbangan hingga membuat suasana bertambah sejuk, nyaman dan indah.
Sambil melahab makanan ayah memoto danau dan megarahkannya pada ibu lalu kepadaku, ayah mengajak ibu berpoto bersama-sama. Ibu dan ayahpun merasakan betapa indah suasana di sana namun karena waktu tak mengizinkan kami untuk berlama-lama disana. Kamipun bersiap-siap untuk pulang, dalam perjalanan pulang ibu mengubah posisi duduknya, Ia duduk  disamping ayah yang mengendarai mobil sementara aku duduk dibelakang ayah. Tepat adzan magrib kami tiba di rumah.
***
“Alhamdulillah kita pulang tepat untuk sholat magrib’’.  Timpal ibu seraya melepas sandalnya kemudian membuka pintu dan masuk, yang kuiringi dibelakangnya, sememntara ayah memasukkan mobil ke dalam garasi, yang berada disebelah kanan halaman rumah.
 “Assalamualaikum”. ibu mengucapkan salam seraya melangkah kedalam rumah.
“Wa’alaikumsalam”. Jawabku yang lebih cepat jalan, memotong jalan ibu menuju dapur mengambil air minum untuk ayah dan ibu .
“Sar kamu ambil wudhu gih nanti ibu panggil ayahmu kita sholat jama’ah” pinta ibu kepadaku seraya memberesi peralatan yang kami bawa sebelumnya.
“Baik bu”. Jawabku dan bergegas mengambil wudhu. Ibupun segera keluar menemui ayah di garasi mobil.
“Yah ayo sholat jamaah. Sari sudah ambil wudhu tuh”. Ajak ibu kepada ayah yang sibuk memberesi isi mobil dan membersikannya.
“Yah ini sudah selesai “. Seraya menutup pintu mobil dan mendekati ibu. Mereka berduapun masuk kerumah dengan beriringan.
“Ayo yah kita sholat bareng”. Pintaku kepada ayah yang siap menggunakan mungkenah dengan menyiapkan sajadan ayah dan mungkenah untuk ibu yang tepat berada dihalaman tengah yang sering kami gunakan untuk sholat jamaah ataupun tempat ibu menjahit pakaiyan.
“Ia”. Jawab ayah yang bergegas mengambil wudhu dan diiringi ibu dibelakangnya. Akupun menunggu mereka dengan menggunakan munggkenah dan duduk bersimpuh diatas sajadah menghadap kiblat .
Aku menyusun sab yang mana sajadah ayah kutaruhkan didepan antara sajadah ibu dan sajadahku. Aku berada dibelakang sebelah kirih ayah dan ibu sebelah kanan ayah. Karena ayah laki-laki sendiri yang berada dirumah kami, maka imam yang selalu memimpin sholat kami adalah ayah.
Setelah ibu dan ayah mengambil wudhu merekapun bergegas mengambil posisinya yang telah aku sediakan. Ayah berdiri didepan kami, ayah menjadi imam yang memimpin sholat, ibu berada disebelah kananku yang kemudian ibu menggunakan mungkenahnya.
Dengan salam penutup sholat, ayah kemudian memimpin do’a. Selesainya kami bersalaman dan berpelukan juga saling mecium pipi dengan kasih sayang.
 Selesai melaksanakan sholat magrib berjamaah ibu merapikan mungkenah dan sajadah kami, ibu menaruhnya dilemari khusus perlengkapan sholat kami.  Al-Qur’an, tafsir serta peralatan ibadah lainnya telah ibu susun rapi di dalamnya hingga bila kami ingin melakukan ibadah semua sudah ada dalam lemari.
“Kita makan yuk sar “. Ajak ayah keruang makan seraya menggandeng tanganku dengan eratnya.
“Bu ayo makan”. Panggilku dengan berjalan dalam gandengan ayah menuju ruang makan.
“Ya “. Jawab ibu dengan menghampiri meja makan dan menyiapkan makan malam . Akupun andil membantunya menyiapkan gelas dan menuangkan air kedalamnya. Sambil menyantap makan malam ayah menegurku.
“Sari mau adain acara esok  ya, Mau ajak teman-teman kerumah ?”. Tanya ayah padanya.
‘’Ehemm’’. Dengan batuk kecilku dan ibu segera memberikan segelas air putih padaku. Akupun langsung meminumnya. Dengan ragu Aku mejawab pertanyaan ayah kepadaku.
‘’Ia, bolahkan Sari adain acara”. Sambil menoleh kepada ayah dan ibu, mengharab persetujuan mereka.
“Boleh “. Kata ibu yang menyetujui permintaanku“. Memang berapa teman yang akan Sari undang besok .”Tanya ibu padaku.
“Hemmm”. Dengan berpikir menghitung teman-teman yang ada sekolaku.
“Ajak semua dah”. Timpal ayah tegas kepadaku, karena melihat Aku yang pusing menghitung teman-teman di sekolah yang terlalu banyak.
“Bagi yang mau ikut saja deh’ yah, atau sekelas saja karena terlalu banyak”. Jawab Sari bingung.
“Teman sekelas saja tidak apa-apa Sar, itukan cuman acara kecil hanya do’a bersama dan makan-makan”. Ibu menimpali pekataanku dengan lugas.
“Teman mengaji juga diajak tidak apa” . Ayah menambahkannya.
 “Hemm, ok ayah, Aku akan mengundang mereka.
“Ayo lanjutkan makannya, ini sudah malam besok kamu mau upacarakan”.  Ibu membitahukan kepadaku yang melamun memikirkan hari esok.
“Ya bu”. Jawabku yang segara menghabiskan makanku yang kemudian merapikan meja serta membawa piring kotor ke dapur. Dengan membantu ibu mencuci piring kemudian Aku menatanya ke- raknya dengan rapi.
Seraya mengelap meja makan, selesainya Aku mematikan lampu ruanganya dan menuju kekamar mandi dengan menggosok gigi dan mencuci kaki. Sementara Ayah yang duduk disofa dengan santainya menonton berita di televise dengan seriusnya. Selesai mencuci kaki Aku langsung masuk kedalam kamarku.
 Ibu mengunci pintu dapur dan melangkahkan kaki menuju kekamarku. Yang mana Aku sibuk menyiapkan mata pelajaran untuk sekolahku besok.
  “Sar kamu mau makan apa besok ?”. Tanya ibu dari belakang punggungnya,  membuatku sedikit terkejut karena aku begitu konentrasinya melihat mata pelajaran yang ada dimeja belajarku. Aku yang menyiapkan buku pelajaranku dengan sengaja pintu kamar yang terbuka. Hingga kehadiran ibu di kamarku yang tidak aku ketahui. Membuat aku sedikit tersentak kaget.
“Agar ibu bisa mnyiapkan semuanya besok”. Dengan duduk dikasurku menatapku memasukkan buku pelajaranku kedalam tas.
“Nasi tumpeng gimana bu”. Saranku kepada ibu. Ibu membalik tubuhnya dan berguling dikasuku seraya mengambil bantal guling dan memeluknya, Akupun mengikuti dan duduk disampingnya.
“Oh ya lusanya kita ke- panti asuhan ya, kita kasih makanan untuk mereka bagaimana kamu setuju sar ?”. Saran ibu padaku.
“Sari setuju bu, Sari juga ingin kasi pakayan dari pada tak berguna nantinya, mending kita kasiin mereka saja ya bu. “ Dengan segera kumenyiapkan kardus bekas yang besar dari atas lemari pakayanku.
Akupun mengambil beberapa pakaiyan yang ada didalam lemariku yang kemudian aku masukkan kedalam kardus, dengan bantuan ibu semua tersusun rapi dan kusisikan di samping meja belajarku. Selesai menaruhnya Aku duduk di pinggir kasur dan mendekati ibu.
“Selesai  sudah bu”. Dengan menepuk-nepukan tangannya.
“Duduk sini samping ibu”. Seraya menjulurkan tangan kanannya seolah ingin menggapaiku. Akupun langsung mendekati ibu dan menyambut tangannya dan duduk di sampingnya.
Ada apa bu”. Tanya Sari, dengan tangan dalam genggaman ibunya.
“Ibu sangat bangga punya anak seperti kamu sar, kamu anak yang baik serta tak kenal waktu untuk membantu. Siapa saja yang membutukan bantuanmu kau usahakan untuk membantunya. Seraya mengangkat tanganku dari genggamannya, dan memeluknku dengan tangan kirinya. Ibupun menciumi  kepala dan pipiku dengan kasih sayangnya.

Akupun membalas perkataannya. Seraya bangkit dari duduk dan menghadap ibu yang kemudian memegang kedua tangannya.
“Bukankah Sari yang berbangga, karena Sari mempunyai seorang ibu yang cantik serta baik hati sperti ini.” Dengan memandang wajah ibu dekat seraya memujinya.
“Hemm”. Dengan senyum tipis J dan menggosok-gosok  kepalaku, ibu menyuruh segera tidur.
“Ya sudah besok kamu upacara di sekolah sekarang tidurla jangan sampai kesiangan. Sambil menarikkan selimut ketubuhku dan beranjak dari duduk.
“Ya bu”. Sambil ku baringkan tubuhku dan ku tarik selimut dan segera tertidur. Ibu melangkahkan kakinya keluar kamar dan menutukan pintunya.
“Lagi asik ni ‘yah, acara apasih”. Tanya ibu kepada ayah yang serius menonoton  televisi dan duduk disampingya.
“Sari sudah tidur bu ?”. Tanya ayah tak menjawab pertanyaan ibu.
“Baru saja ibu dari kamarnya, mungkin Ia sudah tertidur sekarang”.  Jawab ibu,
“Besok ibu mau masak banyak banget ni yah, nanti ibu minta bantuin bu Ira tetangga sebelah ya, biar tidak begitu repot.” Kata ibu memberitahukan pada ayah.

“hemm, apakah perlu bantuan lain. Nanti ayah cari koki restoran, biar cepat selasai dan ibu tidak begitu capek natinya.” Timpal ayah pada ibu.
“Ibu mau yah.” Dengan semangatnya ibu menjawab setuju, karena Ia bisa menata ruangan dan tidak begitu repot bila ada yang memasak.
“Baiklah”. Jawab ayah singkat dengan mngambil handphonenya yang di taruhnay diatas meja kemudian Ia menelpon seseorang.
Lebih kurang lima menit ayah menelpon dan ibu hanya memperhatikannya sambil sesekali menoleh kearah televisi.
“Besok jam 10:00 WIB bu Ia datang , ibu siapkan saja apa yang akan di butuhkan untuk memasak besok. dia yang akan memasak nantinya. Dia adalah ibu Rani karyawan perempuan, dari restoran teman ayah bu. Jadi kalau ibu butuh ini nomor handphonenya, dengan menjelaskan seraya memberikan handphonenya  kepada ibu.
“Terimakasih ayah”. Dengan senyum tipisnyaJ, ibu mencatat nomor handphone yang diberikah ayah padanya.
“Oh’ iya”. Lusa nanti ayah bisakan temani ibu dan Sari kepanti asuhan, untuk mengasihkan kado pada mereka, serta Sari ingin memberikan beberapa pakaiyan yang bisa mereka pakai nantinya”. Pinta ibu kepada ayah.  
“Baiklah bu, ayah usahakan bisa, karena lusa ayah ada meeting. Tapi bisa ayah suru sekertaris ayah yang mengerjakannya.
“Kalau tidak bisa jangan dipaksain yah, kan tidak enak kalau ayah jadi repot”. Dengan cemberut manja ibu berbicara.
“Bisa deh, jangat cemberut gitu jelek tau’’. Ayah tertawa dengan merayu ibu. Kemudian duduk dengan menatap photo  dengan bingkai besar yang di gantung di samping jam dinding. Photo itu adalah poto keluarga kecil yang mana terdapat ayah, ibu dan aku. Kami berphoto bersama.
“Ayah hanya tidak ingin melihat Sari dan ibu sedih. Jadi kalian bisa dong, buat ayah bahagia, dengan ayah menemani sibuk kalian ayah akan bahagia”. Jelas ayah dengan senyum J tipisnya.
“Oke deh “. Jawab ibu dengan nada suara bahagianya. Yang kemudian beranjak dari duduknya melangkah membuka pintu dan mengunci pagar halaman luar, kemudian masuk kembali menutup gorden jedela depan serta mengunci pintu.
“Jangan lupa dimatikan televisinya loh ayah”. Pesan ibu kepada ayah sambil melangkah kekamar mandi guna menggosok gigi dan mencuci kaki. Selsai dari kamar mandi ibu mengambil segelas air dan membawanya ke dalam kamar, sementara ayah menyusul ibu dari belakang  mereka pun tidur besama.
***
“Ring.....ringgg….Suara alaram jam beker berbunyi dari kamarku. Ia berdering karena tepat waktu menunjukkan jam 06:00 pagi . Akupun bergegas bangun dari tidurku dan segera mematikan alaramnya, dengan beranjak bangun membereskan tempat tidur dan kemudian keluar kamar menuju kamar  mandi.
Sementara ibu diluar dapur sibuk  dengan menjemur pakaiyan dan ayah mencuci mobil di garasi mobil. Selasai mandi Aku segera mengenakan pakaiyan seragam lengkap dan menuju dapur serta menyiapkan sarapan di atas meja.
“Bu sarapan yuk”. Ajakku pada ibu dari pintu dapur yang terbuka lebar.
“Ia bentar lagi ibu selesai”. Sambil menjemur baju ibu menjawab panggilan ku. Semetara ayah yang sangat sibuk dengan mobilnya, dan aku langsung menghampirinya.
“Sari bantu yah, ayah ‘’. Sambil mengambil sepongs Aku mengelap mobil.
“Tidak usah Sari nanti seragam sekolah kamu kotor”. Ayah melarangku.
“Ia ayah”. Jawabku tertunduk kemudian aku menaruh kembali sepongs yang telah kugunakan, karena ayah melarangku untuk membantunya membersikan mobil. Akupun hanya menungguh dan melihat ayah yang mempercepat membersikan mobilnya, lebih kurang lima menit ayah selesai membersikan mobil dan langsung saja ayah mengajak ku masuk .
“Ayo kita sarapan”. Kata ayah sambil menggandeng tanganku berjalan masuk menuju meja makan. Sementara ibu yang ada di dapur membuat air susu putih hangat.
“Ayo kita sarapan”. Ajak ibu sambil menaru tiga gelas susu putih hangat ke atas meja makan dan membaginya pada kami. Kamipun segera sarapan, Selesai sarapan ayah langsung mandi sebelum jam 07:00 tepat, karena ayah ingin mengantarkan Aku kesekolah.
“Sari jangan lupa undang temanmu ya dan jangan lupa makan siangnya”. Pesan ibu kepadaku. Seraya merapikan piring dimeja makan.
“Ia bu. Sari pasti akan mengingatnya”. Sambil memasang sepatuku  menjawabnya dan mensujuti tangan ibu guna meminta izin untuk berangkat ke-sekolah.        
Sementara  ayah  yang baru selesai mandi bergegas berpakaiyan dan ayah juga meminta izin pada ibu untuk mengantarkan Aku ke-sekolah.
“Ayah antar Sari ke-sekolah dulu ya bu. Assalamualaikum”. Salam ayah pada ibu, yang demikian kuikuti seraya melangkah meninggalkan ibu yang berjalan keruang tamu dan menuju  depan pintu.
“Hati-hati ya”. Jerit kecil ibu dari pintu dengan melihat aku yang melangkah masuk kedalam mobil dan ayahpun memutar kunci menyalakan mobil.
“Ia bu jawabku dari kejauhan”. Sambil melangkah masuk kedalam mobil. Setelah kami berlalu dan tak terlihat lagi dari pandangannya barulah ibu bergegas masuk kedalam rumah, kemudian besiap-siap untuk mandi dan berbelanja guna keperluan memasak nanti.
***
Setelah tiba di sekolah Akupun langsung mensujuti tangan ayah, meminta izin darinya.
“Sari sekolah dulu yah”, Izinku kepada ayah dari dalam mobil. Seraya mensujuti tangannya
“Ia, yang rajin ya nak dan ingat undang teman-temanmu”. Pesan ayah padaku sambil mengosok-gosok kepalaku.
“Baik ayah,  Sari akan mengingatnya” Seraya keluar membuka pintu keluar dari mobil dan berjalan menuju kelas.
Ayahpun memutar mobilnya menuju rumah dan berlalu meninggalkan aku yang melangkah menuju kelas. Di kelas teman-temanku sudah menunggu, mereka membuat kejutan untukku sebelum Aku masuk kedalam kelas mereka tampak siap menyambutku.
***
Saat aku masuk kelas, ramai sorak-sorai teman-temanku dengan bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu ulang tahun untukku.
“Happy Birth day to yo’ Happy Birth day to yo’ Happy Birth day’ Happy Birth day’ Happy Birth day to yo”.
Suara ramai membuatku kaget dan bercapur bahagia karena begitu ramai suara teman-teman menyanyikan lagu ulang tahun untukku.
Akupun berjalan menuju tempat dudukku dan mengucapkan terima kasih pada teman-teman sekelas yang memngingat bahwa hari itu adalah hari ulang tahunku. Trengg…trenggg…...treng….treng…. Empat kali bel berbunyi tanda masuk. Siswa -siswipun berbaris dilapangan guna upacara.
Selesai melaksanakan upacara kamipun masuk kedalam kelas masing-masing guna memulai pelajaran jam pertama dihari senin.
Winda teman sebangku denganku tersenyum-senyum melihatku seolah ada yang lucu denganku, namun kemudian Ia menadahkan tangannya padaku.
“Sar traktirannya mana nih”. Dengan menadahkan tangannya. Aku hanya tersenyum J tipis melihatnya yang seolah menagih hutang kepadaku.
“Kamu ini Win kayak aku ini ada hutang saja”. Dengan suara kecilku namun terdengar  jelas di telinga Winda yang duduk disampingku, yang kemudian Ia menarik tangannya membuka tasnya mengambil buku dan penanya.
“Nanti sepulang sekolah kita makan-makan kerumahku ya” Ajakku seraya memberitahukannya pada Winda, kalau ingin mengadakan acara makan-makan dan doa bersama di rumahku nanti. Dengan melebarkan matanya Ia menoleh kearahku yang duduk disampingnya.
“Benar Sar apa katamu ini, jadi kamu ingin mengadakan makan-makan dan do’a brsama ya di rumahmu ?”. Tanya Winda dengan bawelnya kepadaku.
“Ih kamu ini emang bawel dah”. Dengusku karena melihat Winda yang begitu banyak celotehnya.
“Ok dah, pokoknya aku pasti ikutan kerumahmu sepulang sekolah nanti”. Celoteh Winda seraya tertawa membuka buku tulisnya.
Sementara dari kantor terlihat ibu Nita dengan mengenakan pakaiyan jas wanita berwarna hitam dengan kemeja putih didalamnya, serta dikombinasi dengan sepan dasarnya berwarna hitam dan lebih membuatnya cantik dengan hight hellnya. Karena itulah pakayan seragam guru dihari senin.
Ibu Nita adalah guru mate-matika, dia juga wali kelas kami. Dia guru yang amat baik bagi kami karena Ia sangat menyayangi dan memperhatikan kami. Bagiku guru itu adalah orang tua ke dua disekolah.
Tug, tug, tug …. suara langkah sepatu ibu Nita memasuki kelas kami guna  untuk mengajar. Ibu Nita adalah wali kelas kami Ia guru mate-matika yang sangat tegas dan baik.
Ibu Nita adalah guru mata pelajaran mate-matika di kelas kami, Ia mengajar empat kali dalam seminggu. Setiap Ia mengajar, kami selalu bersemangat mendengar dan memperhatikan pelajarannya hingga banyak murid yang cukup dekat dengannya
“Assalamualaikum Warrohmatullahhiwabarhokatuh. Seraya berdiri kami ucapkan salam kepada ibu Nita. Salam itu adalah anjuran bagi Siswa-siswi SMP Negeri 1 Ciamis. Bandung. Hingga kamipun sudah terbiasa melakukannya, tanpa diberi tahu kami langsung mengucapkannya pada guru yang datang kekelas dan siap untuk belajar.
 Wa’alaikumsalam Warromatullahhiwabarhokatuh, Jawabnya dengan melangkahkan kaki kekursinya, tepat di samping papan tulis dengan menghadap kami.  Sementara diatas mejanya sudah tersusun buku-buku yang siap untuk  Ia ajarkan kepada kami.
“Anak-anak Apakah kalian ada PR hari ini”. Tanya ibu Nita pada kami sekelas, dengan membuka absennya.
“Tidak ada bu…….’’. Jawab kami sekelas dengan ramai dan tegas.
“Baiklah kalau begitu, ibu akan absen kalian”, seraya melihat semua muridnya dan memulai memanggil nama kami satu persatu. Disaat memanggil namaku ibu Nita langsung bertanya padaku.
“Sari apakah kamu merasa ada yang berbeda hari ini ?”. Tanya ibu Nita kepadaku yang membuat Aku tampak bingung. Ibu Nita hanya tersenyum dan melanjutkan kembali mengabsen teman lainnya. Sementara teman-temanpun tersenyum melihat kearahku hingga membuat aku bertanya-tanya. Apakah yang ibu Nita maksud dari pertanyaanya itu. Aku hanya terdiam dengan melihat Winda sahabat sebangku denagnku yang tertawa kecil melihatku.
“Kamu ini kenapa sih Win ?”. Tegurku pada Winda yang tertawa sendiri.
“Oh tidak apa-apa kok “. Dan Ia menghentikan tawanya seraya membaca bukunya. Selesai mengabsen ibu Nita menerangkan pelajarannya dengan berdiri menghadap kami dan sesekali menulis dengan sepidol hitam kepapan tulis.
Dengan maksud menerangkannya pada kami. Ia menunjukkan apa yang Ia tulis seraya menjelaskannya kepada kami. Kamipun memperhatikannya dengan seksama tanpa mengabaikannya. Kami mencatat dan mendengarkannya.
***
Waktu telah menunjukkan 09:30 WIB. “Treng…….treng…...”.  Bel tanda istiratpun berbunyi. Dengan begitu jelas suaranya terdenrar dari kantor hingga keseluruh kelas. Membuat kami semua menoleh keluar kelas.
Bu Nitapun menutup pelajarannya. Ia lansung memberikan PR kepada kami. Ia pun bergegas keluar kelas meninggalkan kami, dengan sepatu hight heel blacknya Ia melangkah pelan.
“Anak-anak kerjakan dirumah yah besok kita periksa dari hal enam pululh sembilan sampai halaman tujuh puluh”. Seraya membuka buku dan menyuruh kami mengerjakannya. Sebagai pekerjaan rumah.
“Tug………tug……”. Dengan langkahnya berjalan menuju kantor, lalu ku beranjak dari duduk dan bergegas jalan mengikuti ibu Nita dari belakangnya.
 “Sebelum Ia tiba di kantor aku harus memberitahunya”. Dalam benakku berkata dan mempercepat langkahku.
“Bu tunggu”. Sapaku kepada ibu Nita dari belakangnya. Ibu Nitapun membalik badannya dan menoleh kearahku yang berdiri di belakangnya kemudian Ia  menghentikan langkahnya.
Ada apa sari ?”. Tanyanya dengan pandangan lekat menatapku mencari tahu apa yang membuatku memangilnya.
“Emm”. Dengan ragu ku mengutarakannya dan kemudian ibu Nita menggadeng tanganku.
“Ayo kamu ikut ibu kekantor”. Ajaknya dengan menggandeng tanganku.
“Tungu bu”. Dengan menahan tangannya dalam gandengan dan menghentikan langkahku.
“ Bu nanti sepulang sekolah Sari mau adakan acara kecil, makan-makan dan do’a bersama”. Ajakku pada ibu Nita.
“Ia Ibu akan dating” Jawabnya seraya memandangku kembali, namun Ia tak melepas gandengannya yang erat , hingga sangat sulit aku melepasnya.
“Kamu ikut ibu kekantor ya.” Dengan bujukannya agar ku mau kekantor. Akupun menurut saja dan mengikuti ajakannya kekantor. Di dalam kantor ibu Nita langsung menuju mejanya di bagian belakang tepat pada diding menghadap pintu luar kantor.
“Sini sar kamu ambil ini” saraya memberikan piring kertas minyak berwarna warni dengan bermacam-macam bentuk kepala boneka, sehingga membuatku tersenyum kecil karena tampak lucu melihatnya. Dengan mengambil garpu dan sendok plastic kecil dari sorokan mejanya Ia mengajakku kekelas lagi.
“Ayo kita kekelas” Ajakannya dengan melangkah keluar kantor dan ku iringi dibelakangnya, sambil berpikir aku memandang bu Nita dari belakang.
“Apakah ini ada hubungannya dengan ulang tahunku ?”. Dalam hati ku bertanya.
Tiba di kelas betapa terkejutnya aku, semua teman-temanku masih duduk ditempat mereka masing-masing tidak ada yang kekantin ataupun bermain diluar seperti biasanya dijam istirahat. Mereka duduk dengan senyum dan dimeja mereka sudah ada secangkir minuman gelas yang siap minum.
Sementara teman sebangku denganku Winda sibuk dengan menata meja guru didepan kelas dengan kue tar ulang tahun yang ditaruh lilin angka satu dan tiga di atasnya yang siap dia nyalakan.
“Sudah siap bu”. Sapa winda kepada ibu Nita yang mendekati mejanya, dengan Winda berdiri disampingnya. Yang kemudian ibu Nita menaruh sendok dan garpu pelastik ke atas meja. Akupun mendekat seraya memberikan piring kertas minyak yang diberikan ibu Nita dari kantor tadi untuk membawanya ke kelas.
“Ayo anak-anak semua berdiri”.  Seraya mengajak dengan tangannya.
“Semua teman-temankupun berdiri” mengikuti ajakan Ibu Nita
“Ayo kita mulai. Satu, dua, tiga”. dengan hitungan dan tepuk tangannya Ibunita dan teman-teman pun bernyayi ulang tahun untukku.
“Happy Birth day Sari’ Happy Birth day Sari’ Happy Birth day’ Happy Birth day’ Happy Birth day Sari”
Tepuk tangan meriah membuat ramai kelas, membuatku terharu dan bahagia. Widapun bergegas menghidupkan lilin dikue tarnya dan ibu Nitapun menyuruhku meniupnya.
“Ayo Nita tiup lilinnya”. Dengan meraih tanganku yang berdiri terharu dengan mata berlinang namun bahagia.
“Huhhh”. Seraya memonyongkan bibir kutiup lilinnya. Semua teman-temanpun bersorak ramai dengan bahagia.
Potong kuenya’ Potong kuenya’Potong kuenya sekarang juga’ sekarang juga. Dengan bernaynyi teman-teman sekelas memintaku memotong kue, ibu Nita hanya tertawa melihat teman-temanku bernyanyi ria.
“Ayo Winda kamu ambil piring dan garpunya biar Sari yang potong kuenya”. Tegur bu Nita pada Winda. Akupun hanya menuruti saja apa yang di perintahkan ibu Nita padaku.
“Ayo Sari potong kuenya tegur ibu Nita padaku seraya memberikan pisau pelastik agar aku memotong kue.
“Baik bu”. Akupun memotong kue menjadi beberapa bagian hingga cuckupuntuk teman sekelas, sementara Winda menyusun piring dan sendok garpunya untuk di bagikan pada teman-teman yang lainnya. Setelah aku memotong kue, aku  menaruhnya dipiring yang sudah disiapkan Winda dan langsung aku berikan kepada ibu Nita dan Winda serta teman yang lainnya.
“Terimaksih bu”.  Dengan menegur ibu Nita seraya memberikan sepotong kue padanya.
“Semoga kamu sehat dan rangking selalu ya sar”. Sembil mengagukkan kepalanya dan  menggosok kepalaku. Ibu Nita mendoakan aku.
“Aaminn”. Timpalku mendengarkan do’anya dan kemudian aku memberikan kue kepada Winda sahabat sebangku denganku.
“Ini Win untukmu, terimakasih ya kamu telah merencanakan semuanya”. tegurku kepadanya seraya memberikan sepotong kue.
“Kok kamu tau sih, kalau semua ini aku yang merencanakan semuanya”. Tanya Winda kepadaku yang tersenyum seraya Ia mengambil kue yang aku berikan padanya.
“Ia dong bukankah Aku sahabat yang paling dekat denganmu, mana mungkin aku tidak tau kalau kamu yang membuat rencana ini”. Dengan senyum bahaginya aku menjawab pertanyaan Winda, seraya menepuk bahunya.
Dengan mengelilingi bangku seluruh teman-temanku serta mengajak mereka datang kerumahku sepulang sekolah nanti dan membagi potongan kue yang sudah disusun rapi dalam piring kertas dari atas meja ibu Nita.
Treng………treng suara belpun berbunyi tanda masuk dan selesai jam istirahat. Ibu Nita kemudian meyuruh kami merapikan kelas. Kamipun bersama-sama merapikan dan membersikan kelas.
“Sekarang jangan ada sampah lagi ya di kelas dan jangan berisik lagi pesannya kepada kami.
Ia bu jawab kami serempak yang kemudian duduk tenang dibangku kami masing-masing. Selesai membersikan kelas kami, ibu Nita langsung keluar kelas meninggalkan kami menuju kantor, kamipun siap menanti pelajaran berikutnya.
***
Sementara dirumah ibu yang sibuk menata ruang tamu hingga terlihat lebih luas dari sebelumnya dan ayah membentang ambal dan tikar didalam maupun pekarangan rumah.
“Ayah kemari bantu ibu sebentar “. Suara ibu memanggil ayah, yang terdengar bergema dari ruang tamu oleh ayah yang berada diluar ruangan.
Ada apa bu ?”. Sambil berjalan masuk mencari suara ibu dari balik pintu luar dan melangkah menuju keruang tamu.
“Ini yah kaki ibu sebelah kanan, kenapa kaku sekali ?, seolah tak mau di gerakkan’’. Sambil menunjukkan dan memijat-mijat kakinya, ayah hanya mendengar dan memandangi kaki ibu yang terduduk menjulurkan kakinya.
“Mana biar ayah yang pijat “. Sambil duduk disampinya memegang kaki ibu yang kemudian ayah memijatnya. Ibupun membiarkan ayah memijat kakinya, dengan muka yang meringis menahan kaku dikakinya.
“Bagaimana bu sudah enakan”. Tanya ayah sambil memijit kaki ibu yang kemudian menghentikannya.
“Lumayan yah tapi masi sedikit kaku”. Jawab ibu mencoba beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati sofa hijau di ruang tamu.
“Ibu gerakin terus kakinya, jangan terlalu lama duduk”. Saran ayah kepada ibu. Seraya memandangi kaki ibu yang berdiri tegak ingin berjalan.
“Yah sudah ibu bantu ayah siapin makan siang saja, semuanya sudah selesai biar kaki ibu banyak gerak dan tidak kaku. Ajak ayah kepada ibu.
“Bilang saja kalau ayah sudah lapar”. Ledek ibu kepada ayah dengan sembringahnya.
“Seperti tidak lapar saja bu, ayo kita makan”. Dengan menggadeng tangan ibu kedapur. Ibupun hanya tersenyum melihat gerutuan ayah yang menggadeng tangannya dan mengajak kedapur.
Yang mana di dapur ada ibu Rani yang sibuk memasak guna persiapan acara nanti.
“Masih banyak bu yang belum di masak”. Tanya ayah pada bu Rani yang sibuk menumis sayur.
“Tinggal sayurnya pak”. Jawab bu Rani seraya menarukan tumisan sayurnya kedalam piring.
“Sini bu biar saya“. Dengan meraih piring dan ibu membersikan meja dapur, serta mnyingkirkan piring kotor di atasnya. Ayahpun bersegera menata semua masakan dimeja makan dan merapikan semua minuman dimeja ruang tamu.
“Ayo kita makan siang dulu bu, nanti Sari pulang sekolah rumah pasti ramai sebaiknya kita makan dulu.” Teguran Ibu mengajak ibu kepada ibu Rani yang sibuk mencuci piring.
“Ia bu”. Jawanya seraya mencuci tangan menaruh piring yang sudah dicucinya ke-rak piring dan berbalik badan menuju ruang makan. Ayah, ibu dan bu Ranipun makan siang bersama. Sambil melahab makanan ayah bertanya pada ibu Rani.
“Anak ibu berapa sih”. Tanya ayah menatap ibu Rani yang terlihat lebih tua dari ibu karena terlihat dari sebagian rambutnya yang telah memutih.
“Tiga pak, satu laki-laki duanya perempuan”. Jawabnya dengan lugas.
“Enak dong, rame. Jawab ibu kepada ibu Rani yang sedang lahab mengunyah makanannya.
“Ia rame, namun mereka sudah jarang berkumpul. Karena anakku yang pertama kuliah dijogja, hanya yang kedua dan ketiga yang bersama. Itupun kalau mereka tidak ada les ataupun tugas sekolah lainnya”. Tegas ibu Rani kepada ayah dan ibu.
“Owh demikian, dengan menganggukan seolah ayah memahami perkataan ibu Rani yang menjelaskan kesibukan anak-anaknya.
“ Ibu sudah berapa lama bekerja dan suami ibu kerjanya apasih ?”. Dengan bertanya detail seolah wartawan, karena ibu begitu penasaran pada ibu Rani yang membantunya memasak namun belum pernah bicara banyak. Dengan senyum Ia bertanya pada ibu Rani.
“Baru satu tahun bu, saya bekerja. Suami saya sudah meninggal sewaktu anak saya yang bungsu bersusia 6 tahun. Ia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia mengidap penyakit hipertensi dan jantung”. Kata ibu Rani dengan sedikit lirih mengenang suaminya.
Ibu hanya tertunduk mendengarnya dan sedikit terharu, karena merasakan sakitnya yang sama dengan suami ibu Rani, yang baru saja diberitahukannya. Hanya saja Ia tidak mengidap penyakit jantung seperti yang dikatakana ibu rani kepadanya.
Ma’afkan kami bu, membuat ibu sedih dan mengingatkan kembali pada suami ibuyang telah tiada. Tandas ayah meminta ma’af kapada ibu Rani dan menoleh ibu yang tertunduk kemudian mengenggam tangan ibu.
Tidak apa-apa pak karena sering orang bertanya bila ia belum tau. Dengan tersenyum ibu rani menjelaskan pada ayah yang sedih melihat ibu tertunduk.
“Istri saya ini mengidap penykit hipertensi bu, baru minggu kemarin kami periksakan kedokter. Ayah memberitahukan penyakit ibu kepada ibu Rani.
Setelah mendengar perkataan ayah pada ibu Rani langsung saja ibu mengangkatkan kepalanya dan memandang wajah ibu Rani di depannya.
“Owh jadi ibu mngidap penyakit hipertensi ya, seraya melihat ibu.”
“Ia bu, tapi anak kami tidak tau masalah ini karena kami takut Ia kepikiran karena usianya belum begitu labil untuk mengetahuinya. Ibu memberi tahukan masalah penyakitnya yang tidak aku ketahui.
“Memangnya usianya Sari berapa sekarang ?”. Tanya bu Rani pada ibu yang sudah mengetahui namaku karena sebelum dating kerumah ayah sudah mengenalkan bahwa ia minta bantuan padanya untuk memasak diacara ulang tahunku.
“Sekarang ini adalah ulang tahun Ia yang ke tiga belas tahun bu”. Jawab ibu dengan sedikit haru mengatakannya.
“Owh, saya pikir dia masih berusia sepuluh tahunan”. Jawab ibu Rani dengan menebak usiaku saat itu yang kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Tidak apa-apa bu kalau bapak dan ibu ingin memberitahunya, tapi kalau ibu dan bapak  masih meragukan dia.  Jangan dulu karena waktunya memang tidak pas saat ini.”
“Benar bu, karena waktunya sekarang memang belum tepat dan kamipun meragukannya”. Timpal ibu kepada ibu Rani.
“Ibu harus banyak memakan buah-buahan serta sayuran agar darah ibu seimbang. Jangan sampai seperti suami saya karena memang Ia perokok berat serta darahnya yang tak seimbang hingga membuat Ia tak tertolong lagi”. Pesan ibu rani kepada ibu seraya berdiri mencuci tangan dan mengelab meja.
“Ia bu dengar atuh pesan-pesannya ibu Rani”. Ayah menimpali kata-kata dari ibu Rani.
“Huhh ikutan saja nih ayah, Ia dah ibu dengerin pesnya ibu Rani”. Dengan memonyongkan bibir ibu berceloteh.
“Sipp dah”. Jawab ayah yang tersenyum melihat raut wajah ibu yang memerah.
Ibu Rani hanya tersenyum mendengar pembicaraan kami dan dengan membawa piring kotor  dimeja makan kedapur, kemudian Ia mencucinya.
***
Sementara Aku yang sedang belajar di sekolah sibuk mencatat dan  memperhatikan pak Iwan menerangkan mata pelajarannya yaitu kesenian dijam terakhir hari senin. Dengan rasa tidak sabar lagi aku ingin pulang namun mata pelajaran pak iwan masi mempunyai waktu lima menit lagi.
Treng………treng……treng. Bel tanda jam belajar berakhir, semua teman-teman kelas lain sudah keluar dari kelasnya, mereka tampak  berhamburan di lapangan menuju pagar keluar sekolah. Munuju rumah mereka masing-masing.
Pak Iwan pun menutup bukunya Ia langsung mengucapkan salam pada kami sekelas dan kamipun menjawab salamnya seraya Ia meninggalkan kelas.
Sebelum kita menutup pelajaran hari ini marilah kita bersama-sama melafaskan hamdalah. Seru pak iwan kepada kami mengajak untuk melafaskan hamdalah.
“Alahmdulillah”. Suara riuh kami mengucapkan hamdalah dengan kompaknya. Yang kemudian di tinggalkan pa iwan yang melangkah berlalu dari kelas ami menuju kantor.
Sementara Winda dan wahyu  mengahalangi lahkahku ku yang ingin beranjak keluar dari kursiku.
“Hey mau kemana, jangan kemana-mana kami ada kado istimewa untukmu”.  Katanya kepadaku seraya memegang tanganku dan Wahyu menarik tas ditanganku. Akupun langsung meronta melihat Winda dan Wahyu menahaku agar aku tidak kemana-mana. Sementara teman yang lain berdiri di depan kelas memandangiku.
“Apa-apaan kalian ini lepaskan Aku. Aku mau pulang nanti ayah dan ibuku marah”. Hari ini ada acara dirumahku aku masih ada kerjaan lain. Pintaku pada teman-temanku.
“Sebentar saja Sari”. Jangan takut kami tidak akan membunuhmu, kata Wahyu dengan senyum dan menahan tasku di tangannya.
“Tidak mau pokoknya aku mau pulang”. Dengan marah aku berlari menuju luar kelas. Namun setiba didepan pintu kelas ada rio salah satu teman sekelasku yang berbadan paling tinggi. Ia menahanku pulang.
Nanti dulu Sari, kami ada kado untukmu katanya seraya melemparkan air warna kewajahku.
“Aw..... Apa-apaan kalian ini, aduh’ basah ni”. Rengekku pada mereka yang terus melepariku dengan air warna. Sementara Winda dengan gesitnya mengambil photo dariku yang penuh dengan warna dibajuku, serta teman-teman yang lain ikut tertawa ria melempariku.
Dengan kesal akupun ikut melempar mereka yang ramai seolah ingin mengeroyokku sendirian. Aku raih kantong yang penuh dengan air warna yang ada ditangan Wahyu, langsung saja ku lemparkan pada teman-teman yang lainnya, hingga membuatku tertawa lepas karena melihat mereka yang ikutan dengan baju basah dan berwarna.
“Ha….ha…ha…ha… Kalian juga kena”. Riangku melihat semuanya basah. Winda  hanya memonyongkan bibir melihat bajunya yang sudah basah dan berwarna. Setelah habis air warna untuk disiram wahyu memberikan tasku.
“Ini tasmu yang telah aku selamatkan dari air warna”. Nadanya kesal seraya memeberikan tasku, kemudian aku raih tasku dan menggadeng tangannya
“Terimaksih yah Endut, kamu sudah selamatkan tasku jadinya tasku tidak berwarna ni”. Dengan tersenyum J kumengandeng tangannya melangkah ke pagar sekolah. Sementara dari depan kelas terlihat winda memangil kami.
“Hei tunggu aku”. Winda memanggil dari belakang kami dengan berlari kecil Ia mendekati kami.
“Kalian ini, tidak mau menungguku lagi ya”. Dengan membesarkan matanya Ia berkata.
“Ma’af Win, habisnya kamu asik sekali dengan air warnamu”. Jawabku seraya memandangi wajah Winda yang seakan ingin mencengram kami.
“Huh kalian ini”. Seraya mencubit wahyu yang berada disampingnya. Wahyupun tersenyum melihat winda yang memonyonkan bibirnya.
Sementara diluar pagar sudah ada ayah yang menunggu kami didalam mobilnya, seraya memandangi pakaiyanku yang penuh dengan warna. Kami yang berjalan sambil berceloteh satu sama lainnya tak begitu memperhatikan ayah yang sudah lama menunggu kami.
“Wah lihat itu ayahmu Sari’’. Wahyu berkata dengan menunjukkan tangan kearah mobil diluar pagar sekolah,
“Wah dirumah nanti bisa kena sembur nih sar, ha…..ha…ha…..”. Tawa Winda meledeku”. Dengan mencibir Ia melihat pakaiyanku yang basah dan berwarna.
“Ini karena kalian sih”. Seraya memandangi pakayanku yang basah dan penuh dengan warna.
Setelah kami berjalan mendekati mobil, Winda dan Wahyu langsung menyapa ayahku mereka bersujud ditangan ayahku.
“Assalamualakum om”. Sapa mereka seraya tersenyum J dan mensujuti tangan ayah yang sejak tadi menuggu kami didalam mobilnya.
“Wa’alaikumsalam”. Jawab ayah seraya menjulurkan tangannya yang menyambut sujutan dari wahyu dan winda.
“Ayo kalian masuk kita pulang”. Ajak ayah kepada kami, dengan senyum terpancar diwajahnya.
Setiap pulang sekolah winda dan wahyu selalu pulang bareng denganku, rumah mereka tidak begitu jauh dari rumahku, namun terasa sangat jauh bila aku menujunya dengan berjalan kaki. Namun bila aku tidak mengajaknya pulang bersama. Merekapun pulang dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain, seperti angkot. Karena aku tidak ingin mereka pulang dengan kendaraan lain. Aku mengajak mereka pulang bersama denganku.
“Sepertinya belum beraksi ni sar”. Ledek Winda berbisik ditelingaku seraya membuka pintu mobil Aku masuk dan duduk disamping ayah yang kemudian disusul olen winda dan wahyu  yang duduk dibelakangku.
Windapun menggeser duduknya membelakangi ayah memberi Wahyu tempat duduk, karena dengan tubuh wahyu yang begitu besar membuat Winda sulit duduk, hingga Ia menggeser duduknya memberi leluasa Wahyu bergerak dan dirinya sendiri. Aku yang melihat mereka begitu sulitnya duduk dari kaca mobil langsung menegur mereka.
“Duh kaliah ini, seperti mau antrian beli tiket nonton film dalan bioskop saja”. Dengan tawa kecilku melihat mereka dari balik kaca mobil berbentuk persegi panjang kecil didalam mobil.
“Ini Sar, si endut kasihan. Sudah endut susah duduk lagi”. Winda membalas perkataanku seraya tertawa melihat Wahyu yang cemberut duduk disampingnya.
Sementara ayah menstarter mobilnya dan segera menyetirnya berjalan menuju rumah. Dalam perjalan ayah bertanya padaku.
“Baju kamu kenapa Sar?”. Tanya ayah dengan menoleh sekilas kearah bajuku yang basah dan berwarna. kemudian Ia kembali menyetir mobilnya. Akupun langsung melirik pada Winda dan Wahyu yang duduk di kursi belakang mobil. Mereka memandangku tajam.
“Tanya saja yah pada mereka yang menyiramnya”. Tunjukku kepada Winda dan Wahyu dari kursiku ke belakang mobil.
“Ma’afkan kami om, bukan maksud kami mengotori baju Sari”. Jawab Winda dengan tertunduk. Ia berkata pada ayah yang konsen dengan menyetir mobilnya, namun Ia mendengar jelas kata-kata Winda yang duduk dikursi belakang mobil yaitu tepat di belakangnya.
“Karena Sari berulang tahum om. jadi acara siraman ini wajib, bagi teman yang berulang tahun”. Timpal wahyu dengan tegas menambahkan perkataan Winda yang tampak takut pada ayah.
“Owh jadi setiap ada yang ulang tahun harus di siram ya”. Jawab ayah tersenyum melihat wajahku.
“Tidak apa-apa, tapi lain kali biarkan Sari berganti pakayan dulu. Biar seragamnya tidak kotor, kan sayang baru hari pertama sekolah pakaiyannya sudah kotor”. Ayah menjelaskan pada Winda dan Wahyu yang serius mendengar perkataannya.
“Tapi om, acara ini khusus disekolah bukan dirumah”. Jawab Winda dengan bawelnya. Akupun hanya terdiam mendengar mereka berbicara.
“Kenapa harus disekolah”. Tanya ayah kembali kepada mereka, seraya memutar setir mobil kearah kanan menuruti arah jalan.
“Karena itu adalah acara disekolah om”. Wahyu berkata dengan serius memandang ayah”.
“Hemm yah sudah kalau begitu”.  Dengan mengalah ayah berkata dan melempar senyum J tipisnya padaku kemudian kembali menyetir mobilnya.
Aku mengehela nafas, setelah melihat mereka selesai berbicara seperti dalam perdebatan yang panas. Namun aku merasa lega akhirnya ayah kalah dalam pendapat dengan kedua temanku yang bawel dan cerewet. Tapi mereka cukup cerdas di sekolah.
“Oh, ia ayah  nanti kita ke-tempat mengajiku sebentar ya, mau undang teman-teman disana”.  Pintaku kepada ayah.
Nanti saja, ganti baju dulu baru kesana ayah melarangku, karena pakayan sekolahku belum kering dan penuh dengan warna.
“Oh, ia yah”. Dengan memandang pakayan sekolah yang kukenakan sambil tertawa.
Mobilpun terhenti disebuah rumah bercatkan biru muda dengan penuh pohon beringin didepannya.
“Sudah sampai Win”. Tegur ayah pada winda yang duduk tepat belakang ayah.
“Terimakasih om, Sari saya pulang dulu ya. Nanti saya datang kerumah,  katanya dengan melangkah keluar dari pintu mobil serta menutupkan pintunya kembali.
“Ia ditunggu kedatangannya”. Jawabku dari kursi depan dan menoleh kebelakang, ke-arah Winda yang membuka pintu mobil guna keluar kemudian menutupnya kembali.
Setelah Winda berjalan masuk kehalaman rumahnya ayah langsung tancap gas, meninggalkan Winda yang berjalan menuju rumahnya yang kemudian berlalu dari pandangan kami. Sementara Wahyu yang Aku lirik dari kaca Ia tampak tersandar lemas dikursi sambil memegang perutnya.
“Hei endut kamu kenapa lemas sekali”. Aku menegurnya dari balik kursiku dengan menatapnya dari kaca mobil.
“Ngantuk ni Sar”. Katanya singkat tampa menoleh Ia hanya memegang perutnya yang besar.
“Hemm..... Kamu itu bukan hanya ngantuk, tapi juga lapar”. Kataku padanya dengan tersenyum J lebar melihat tingkahnya.
“Itu itu kamu tau, masih juga bertanya”. Timpalnya kepadaku. Dengan membuang mukanya keluar mobil melihat rumah-rumah berbaris rapi dipinggir jalan.
“Kamu langsung ikut kerumahku saja ya, bajumukan tidak basah hanya terkena air dikit”. Dengan memandang mukanya yang seolah tak perduli denganku.
“Ia dah asal banyak makanannya”. Katanya menoleh kearahku sekilas yang kemudian ayah menimpalinya.
“Tenang saja mau makan apa kamu hah, nanti om siapin”. Dengan tertawa kecil, ayah melihat wajah wahyu yang tampak lemas karena lapar .
“Benar ni om”. Dengan semangatnya Ia berkata sambil menggeser tubuhnya yang semula bersandar kini menjadi tegab, setelah mendengar perkataan ayah. Tak lama kemudian mobil sudah sampai di depan rumah ayah lansung menepikan mobilnya tepat di samping pagal halaman luar rumah di pinggir jalan.
***
 Kamipun turun bersama dengan melangkah beriringan masuk kedalam rumah. Sementara ibu dan bu rani sibuk dengan menata makanan di meja makan serta menyiapkan piring serta perlengkapan lainnya di meja makan.
Assalamualaikum dengan mengucapkan salam dan langkah kakiku memasuki rumah yang diikuti wahyu dan ayah di belakangku.
“Wa’alaikum salam” Sambutan salam kami dibalas ibu dari dalam ruang makan bersama ibu Rani. Akupun mengajak wahyu masuk kedalam rumah
“Ayo sini ikut aku keruang makan”. Seraya mengandeng tangannya. Berjalan menuju ruang makan
“Bu”. panggilku kepada ibu yang kemudian mensujuti tangannya, Wahyupun demikian.
“Kenalkan ini ibu Rani”. Kata ibu sembari menunjukkan ibu Rani pada kami dan kamipun mensujutinya.
“Anak ibu cantik ya”. Kata ibu Rani saat aku sujuti. Akupun tertawa malu mendengar pujian ibu Rani kepadaku. Ibupun hanya tersenyum memandang wajahku yang tersipu malu.
“Eh kenapa dengan bajumu Sari ?”. Ibu yang memandangi bajuku yang basah dan berwarna.
Ini semua karena ulah teman-teman di sekolah bu, mereka menyiramiku dengan air warna, denga memonyongkan bibirku, memandang Wahyu yang dari tadi memandangi makanan dimeja makan.
Hemm cepat ganti bajumu taruh di kamar mandi biar ibu nanti yang cucinya perintah ibu kepadaku.
“Baik bu”. Dengan melangkah kekamarku meninggalkan Wahyu sendiri di ruang makan.
“Amu juga Wahyu”. Dengan melihat bercak warna di baju wayu namun tidak banyak.
“Ia bu, karena Sari berulang tahun kami melemparinya dengan air warna”. dengan tertawa malu Wahyu berkata.
“Kalian yah”. Ibu berkata sambil menggeleng-gelangkan kepala
“Kamu mau makan apa ndut ?”. Tanya ayah yang mendekati wahyu dari ruang tamu.
“Hemm…. Nanti saja om” Jawabnya tertunduk malu, ayahpun tersenyum melihatnya yang salah tingkah.
“Katanya tadi lapar, kok tidak mau makan “. Ayah merayunya sambil tertawa.
“Nanti saja om, bareng Sari saja katanya tersenyum. Melihat ibu yang sibuk menata piring diatas meja makan.
“Biar saja ayah. Dia mau menunggu Sari”.  Ibu menegur ayah yang meledek Wahyu. Tak lama kemudian Aku keluar dari kamar dan disambut langsung oleh Wahyu.
“Nah sudah keluar, ayo kita makan”. Ajaknya kepadaku dengan meraih tanganku.
“Kamu saja duluan aku mau ketempat pengajian, mau undang teman-teman disana”. Yang menolak ajakan wahyu karena ingin mengundang temanku dipengajian. Dengan memonyongkan bibirnya wahyu melepas tanganku, kemudian ibu menegurnya.
“Sama ibu ya makannya, Sari mau mengundang teman mengajinya dulu nanti dia balik lagi kok”. Dengan meraih tangan wahyu dan mengajaknya makan. Wahyupun menurut saja iapun makan bersama ibu.
“Ayoh ayah kita pergi nanti teman-teman sekolah pada datang”. Dengan memakai sandal jepit dan langsung melangkah keluar rumah.
Ayahpun langsung masuk kedalam mobil  dan menyalakan mobilnnya mobil kamipun berjalan menuju mesjid Agung Ciamis. Yaitu tepat di pusat kota ciamis. Ayah langsung memarkir mobilnya di tempat yang sudah di siapkan untuk memarkir mobil untuk para jemaah yang datang.
Ayahpun langsung turun dari mobil dengan aku ikuti di sampingnya kamipun jalan berdampingan masuk kedalam masjid seraya mengucapkan salam pada Ustadz dan Ustadza disana. Yang kemudian mereka sambut dengan senyuman.
“Assalamualaikum”. Salam kami ucapkan seraya menundukan badan masuk dan duduk disamping teman pengajianku.
Sementara disab lainnya juga ada teman-temanku yang sedang mengaji kemudian mereka melihat kearahku. Mereka tampak tersenyum J melihatku. Akaupun membalas senyumJ mereka. Ayahpun mengajak mereka berbincang-bincang tetang acara ulang tahunku.
***
Waktu telah menunjukkan 14:20 WIB. Ayah bersegera memberitahukan tujuan kami datang kemasjid guna mengundang teman-teman dan guru mengajiku datang di acara ulang tahunku.
Merekapun bersedia datang di acara ulang tahunku itu. Kamipun bersegera pulang karena merasa waktu semakincepat berjalan ayah mempercepat mengendarai mobilnya. Kamipun tiba dirumah dengan sambut meriah teman-teman sekolahku yang telah menanti kedatangan kami.
“Wah ayah lihat rumah kita sudah ramai”. Tegurku kepada ayah dengan melihat seisi rumah ramai karena teman-temanku. Kami segera turun dari mobil dan ibu menyambut kami dengan mempersilkan Aku duduk disampingnya ayahpun demikian mereka mendampingiku duduk diantara teman-teman yang ada.
Setelah kami duduk bersama-sama terlihan teman-teman pengajianku datang dengan ramainya. Acarapun dimulai dengan dipimpin ustadz  Doni guru lelaki pengajianku sebagai moderator acara, serta ustadza Dia sebagai pembaca do’anya.
Setelah moderator menyampaikan susunan acara barulah kami mengikuti aturan acara sesuai yang di perintahkan moderator, saat acara suap-supan Aku memberikan potongan nasi tumpeng pada ayah dan ibuku yang duduk mendampingiku serta teman-teman yang lainnya.
Aku tampak bahagia saat itu, Acarapun tampak meriah semuapun ikut bahagia dan merekapun saling berbpoto bersama.
Untuk menutup Acara kami membaca do’a bersama yang dipandu olen ustadza Dia. Hingga acar berakhir teman-temanpun pamit pulang diantara mereka ada memberikan kado untukku ada tidak namun aku tidak memaksakan mereka membawa kado karena acaraku mendadak serta aku hanya ingin do’a tulus iklsa teman-temanku serta kedatangan mereka di acara ulang tahunku itu.
***
Siangpun telah berlalu, matahari tak lagi menampakan kegagahannya kini Ia mulai meredup, seolah lampu yang ingin padam secara perlahan. Suasanapun lambat laun menggelap suara adzan pun mendayu-dayu terdengar dari masjid yang ada di ciamis berkumandang dengan lantangnya.
Kamipun bersegera sholat magrib bersama. Selesai sholat kami membersikan rumah yang berantakan usai acara ulang tahunku. Ibu dan ayah tampak terlihat lelah, dengan pandangan kasihanku pada mereka yang sibuk merpikan seisi rumah.
“Ibu, ayah ma’afkan Sari, yang telah membuat kalian repot hari ini, hingga membuat kalian harus capek-capek seperti ini”. Tegurku kepada mereka yang sibuk dengan merapikan ruangan yang tampak kotor.
Ibu dan ayahpun terhenti sejenak dari kerjanya, mereka menoleh kearaku yang ada di belakang mereka yang ikut merapikan seisi rumah yang tampak kotor dan berantakan.
“Kenapa kamu berkata seperti itu sayang”. Tegur ibu seraya mendekati Aku yang kemudian memelukku.
“Kami tidak akan bahagia nak, bila kau juga tidak bahagia”. Ayahpun mendekat dan ikut duduk memelukku. Akupun menitikan air mata mendengar perkataan ayah dan merekapun memelukku dengan erat terasa tak inginku melepasnya.
Hemm kamu memang anak ibu yan cerewet ya cubit kecilnya pada pipiku seraya melepas peluknya. Akupun tertawa mendengar perkataan ibu yang mencubit kecil pipiku dan kamipun melepas pelukan kemudian melanjutkan membereskan rumah.
***
Tak terasa waktu telah munjukkan pukul 20:00 malam. Kami semuapun tampak lelah, selesai makan malam langsungku menuju kamar dan beristri rahat,  sementara ayah dan ibu masih duduk di meja makan dan bercerita.

Bu esok ayah bekerkja mungkin pulangnya agak sore bagaimana kalau sepeulang ayah bekerja saja kita ke panti asuhan. Kata ayah pada ibu yang duduk merapikan piring keraknya.
“Hemm besok hari selasa, Bisa deh yah”. jawab ibu dengan mempercepat menaruh piring.
“Memang kenapa bu kalau besok hari selasa”?. Tanya ayah curiga melihat ibu yang bergegas melangkah menuju ruang tamu.
Besok ibu mau perikas kedokter yah ibu menerangkan kepada ayah seraya duduk kesofa bewarna hijau muda dan mengambil koran di atas meja. Ayah beranjak dari kursinya ia melangkahkan kaki mendekati ibu yang duduk disofa hijau muda yang ada di ruang tamu.
Hemmm…..Ibu mau perikasa kedokter ya. Dengan berpikr ayah melihat meja yang ada di hadapannya.
“Ayah usahakan besok siang sudah pulang ibu jangan pergi dulu, tunggu ayah’ yah atau ayah yang telpon ibu saran ayah kepada ibu yang asik membaca koran.
“Ibu dengar tidak sih”. Dengan menggoyang tangan kanan ibu, ayah memanggilnya.
“Ia Ibu dengar”. Jawab ibu seraya meneruskan membaca korannya.
Ayahpun menghela nafas dan berjalan keluar mengunci pagar halaman ruman dan meuju keparkiran mengecek mobil, lalu masuk kemudian menutup gorden dan menutupkan pintu.

“Ayo bu kita tidur, ayah ngantuk ni”. Ajak ayah kepada ibu, dan ibupun melipatkorannya kemudian mearuhnya di bawa meja yang mana sudah banyak koran menumpuk disana. Ibupun mengikuti ayah kekamar seraya mematikan lampu ruang tamu.
Dalam kamarku aku sudah tertidur dengan pulasnya, tanpa kusadari Aku bermimpi hingga membuatku seperti menangis dan mimpiku itu seperti nyata.
Orang yang datang berbondong-bondong kerumahku ikut membacakan do’a untuk ibuku, dan merekapun ikut menitikan air mata saat aku memeluk ibu dan memangil namanya.
“Bu bangunbu ini Sari. Sari ingin ibu memasak. Sari ingin ibu memeluk Sari. Bangun bu”. Ratapanku kepada ibudengan menggoyangkan badannya yang tebaring kaku dihadapanku”.
Dan akupun terbangun dari tidurku dengan wajah terkejut memandang sekelilingku dan melihat jam dinding dikamarku waktu menunjukkan jam 01:20.
“Astafirullah”. Istifarku melihat seisikamarku yang tidak sama dalam mimpiku, yang seolah nyata. Beranjakku dari tidur dan membuka pintu kamarku aku melihat kekiri menuju kamar ayah dan ibu. Ingin ku mengetuk kamar mereka namun Aku ragu. Aku takut menganggu tidur mereka yang lelap tapi aku masih penasaran dengan keadaan ibu.
“Apakah ibu ada didalam kamar yang tidur bersama ayah, dan tidak ada sesuatu yang terjadi padanya”. Berfikirku dalam hati yang kemudian mengambir segelas air dan meminumnya hingga membuatku sedikit lega namun rasa kantukku menghilang karena pikiranku hanya pada mimpiku yang seperti nyata.
Lama lamunanku yang duduk di meja makan lebih kurang lima menit aku tediam disana. Akupun bangkit dari dudukku dan masuk kembali kedalam kamarku. Seraya menarik selimut dan menutupkannya keseparuh tubuhku.
Dengan pandangan kelangit-langit atap kamarku Aku berfikir. “Ah itukan hanya mimpi kenapa juga aku harus pusing memikirkannya”. Dalam hati ku bergumam sendiri. Yang kemudian kupejamkan mata tertidur krmbali.
***
Pagi telah tiba hari itu adalah hari keduaku bersekolah, Ayah yang lebih awal bangun langsung membuka semua goden dan manyapu rumah. Ibu yang baru bangun langsung menuju kamar mandi kemudian kedapur membuat sarapan.
Aku masih tertidur pulas karena alaram kamarku lupa aku nyalakan akupun tidak tau kalau waktu telah menunjukkan jam 06:15. Ibu mengetuk pintu kamarku dan memanggil namaku dari luat kamar.
“Tuk…….tuk……Sari bangun, ini sudah siang kamu harus ke sekolah nanti kesiangan”. Suara ibu terdengar jelas kedalam kamarku membuatku terkejut dan menoleh kepintu kamarku, seraya menjawab ibu dengan kantukkku.
“Ia Bu ….Sari lupa hidupin alaramnya semalam”. Jawabku yang kemudian beranjak dari tidur seraya melipat selimut dan merapikannya.
Ibupun meninggalkan kamarku dan kembali kedapur menyiapkan sarapan kemeja makan. Aku keluar dari kamar dengan wajah kusam dan menuju kamar mandi. Ayah dan ibu menungguku di meja makan. Selesai mandi Aku bersegera menggunakan seragamku dan keluar kamar menuju ruang makan.
“Lihat Sari, sekarang sudah hampir jam tujuh”. Ayah menegurku seraya menunjukkan jam didinding yang ada diruang tamu. Yang mana kulihat waktu menunjukana jam 06:45, kurang lima belas menit kejam tujuh. Akupun tak berkata-kata dan langsung menyantap sarapanku dengan cepat, kemudian memakai sepatu.
 Ibu dan ayah hanya memandangiku dengan senyum J mereka. Ibupun lansung menegurku denagn merapikan meja ia berdiri.
“Lain kali kalau mau tidur kamu harus ingat, hidupin alaramnya dulu”. Pesan ibu yang memandangiku sambil memberesi meja makan.
“Baik bu”. Dengan hormat aku berdiri dan mendekati ibu seraya meraih tangannya yang kemudian Ia julurkan dan akupun lansung mensujutinya guna meminta izin ke sekolah.
Seperti biasanya ayah mengantarkan aku ke sekolah namun setelah mengantarkan aku ayah langsung bekerja. Karena kemarin acara ultaku ayah bolos bekerja kini ayahpun bekerja.
“Tiba di sekolah aku disambut winda dengan senyum manisnya yang duduk dibangkunya dan iapun menugurku.
“Hallo neng gelis”. Sapanya padaku yang berjalan mendekatinya kemudian duduk dan menaruh tas ku keatas meja.
Ada apa jelek”. Ledekku kepadanya yang tampak duduk tersenyum ria.
“Biar jelek tapi  kamu maukan bersahabat denganku”. Katanya seraya mengeluarkan kertas foto yang sudah tersusun rapi dalam album kecil berukuran tiga r.
“Wah bagus sekali winda”. Dengan terpanah mataku memandangnya namun tak sedikitpun aku menyentuhnya. Windapun tersenyum melihatku yang terkejut melihat foto-foto yang telah Ia cetak rapi dalam satu album, dengan  sampunya berwarna hijau muda yaitu warna kesukaanku.
“Hei kamu mau lihat tidak”. Sapanya kepadaku yang hanya duduk diam melihatnya. Tanpa ingin sekalipun
“Nanti saja”. Kataku yang kemudian bel tanda masuk berbunyi kamipun memulai pelajaran.
Sampai waktu beristrirahat semua siswapun berhamburan di luar kelas ada yang kekantin ada juga yang bermain dihalaman sekolah, sementara aku masih duduk diam di kelasku. Winda yang dari kantin lansung datang menghampiriku.
“Kamu tidak lapar sar ?”. Sapanya kepadaku yang hanya duduk termenung menghadap papan tulis.
“Belum lapar”. Jawabku singkat tanpa menoleh padanya yang ikut duduk disampingku yang menyodorkan makanan yang Ia beli dari kantin.
“Nih, kamu makan ya”. Seraya memberikan gorengan kepadaku. Akupun tak melihatnya, hanya memandang papan tulis dihadapaku yang seolah membaca tulisan yang ada disana. Namun papan tulis yang ku pandang tampak bersih, tanpa tulisan apapun disana.
“Kamu ini kenapa sih sar ?”. Tanyan Winda curiga melihat tingkahku tak seperti biasanya. Karena Aku sering bercanda ria dengnnya dan berbagi cerita tapi kali ini aku hanya terdiam tak mau berkata-kata.
“Akupun menghela nafas karena takut mimpiku itu nyata, karena mimpiku itu serasakan nyata. Akupun menceritakannya pada Winda. Karena Dia sahabat yang sangat dekat juga penghiburku.
“Aku semalam bermimpi Win. Aku takut dengan mimpiku itu, karena mimpiku itu seperti nyata”. Akupu menceritakan mimpiku pada Winda dengan lirih. Winda menanggapi ceritaku hanya dengan sedikit senyumnya J.
“Mimpi, mimpi apasih sar ?. Kok kamu kelihatan sedih, itukan hanya mimpi. Walaupun seperti nyata tapi tetap juga itu mimpi”. Winda menjelaskan padaku dengan nada keanehannya melihat wajahku yang sedih.
“Dalam mimpi itu ibuku meninggal Win, orang-orang ramai dirumahku mendokan ibuku, aku hanya menangis disampingnya”. Aku menjelaskan pada Winda tentang mimpiku yang aku takutkan.
“Hemm kata nenekku itu beramanat buruk tapi kamu jangan khawatir karena mimpi bisa menjadi bunga tidur”. Winda menerangkan kepadaku agar aku tak bersedih. Akupun menangis takut adahal buruk akan terjadi dan menimpa ibuku. Windapun langsung terkejut melihat mataku yang berlinang Ia langsung mengelapnya dan marah padaku.
“Eh ngapain kamu nangis, kok mimpi ditangisin kagak baik atu”. Sambil menghapus air mataku yang mengalir kepipiku.
“Ia, ya”. Dengan mengelap mataku yang basah aku berdiri dan mengajak Winda membeli air minum, karena aku merasakan kering pada mulutku.
“Ayo kita beli minum, aku haus ni”. Ajakku pada Winda sembari beranjak dari duduk aku menggandeng tangan Winda menuju kantin. Setiba di kantin bel tanda berakhirnya jam istiratpun berbunyi. Akupun bergegas kembalikekelas seraya membawa minum.
Jam belajarpun dimulai kami belajar kembali seperti biasanya. Dengan sibuknya belajar Winda menegurku. Sar pulang sekolah nanti boleh ya aku main kerumahmu kata winda dengan suara kecilnya winda menegurku. Akupun lang menganggukkan kepala tampa berpikir lagi. Padahal sepulang sekolah akau mau diajak inu kepanti asuhan. Namun aku lupa akupun menganggukkan kepala kalau winda ingin kerumahku selesai pulang sekolah.
Sementara ibu bersama ayah berada di rumahsakit ibu memerikasakan sakitnya, karena itu anjuran dokter untuk memriksakan diri secara rutin  dan itu juga perawatan ibu agar cepat sembuh, ibupun mengikuti anjuran dokter. Setiba di rumah sakit dokter Rudi yang sudah kenal lama dengan ayah dan ibu langsung saja menyambut serta menyapa dengan senyuman J.
“Siang pak Toni”. Sapa dokter Rudi pada ayah dengan senyumnya J “.
“Siang juga dok, ini biasa check up istri saya”. Kata ayah seraya menyuruh ibu duduk di kasur pemerikasaan yang suadah ada disampingnya.
“Owh, mari bu Ida sapa dokter Rudi mempersilakan ibu berbaring dan Ia langsung memriksa ibu. Ayah yang duduk di samping meja dokter hanya memperhatikan dokter Rudi yang begitu serius memeriksakan keadaan ibu. Selesai memeriksa ibu dengan teliti, dokter langsung mempersilakan ibu duduk. Ibu lansung beranjak dari duduk dan berjalan mendekati ayah yang duduk disamping pintu tempat meja dokter memeriksa. Dokter Rudipun menjelaskan pada ayah dan ibu, bagaimana dengan hasil pemeriksaan yang baru dilakukannya pada ibu.
“Ibu Ida kurang istirahat ya, ibu juga spertinya belum pantang makanan”. Tanya dokter Rudi pada ibu, seraya menulis di bukunya.
“Ia dok, istri saya memang kurang istrirahat karena kami habis melaksanakan cara ulang tahun anak kami”. Ayah menerangkan pada dokter.
“Saya belum bisa pantang juga dok sulit mau pantang dok”. Jawab ibu yang sedikit penasaran dengan hasil pemeriksaan dokter.
“Owh pantas tensi darah ibu tidak stabil, ini semua karena kolestrol dan hemoglobin ibuyang juga cukup tinggi. Setelah periksa ini ibu harus cukup istirahat ya bu. Jangan makan daging kambing ataupun buah durian, karena itu bisa menyebabkan darah ibu melonjak dan ibu bisa mengalami stroke bahkan kematian. Ibu harus banyak makan buah-buahan serta sayuran hijau”. Dokter menerangkan pada ibu seraya menasehatinya dan memberikan resep obat yang harus dimakan ibu nantinya.
“Baik dok kata ibu seraya menerima resep dari dokter Rudi seraya mengajak ayah beranjak dari kursinya dan permisi untuk mengambil obat di apoteker sesuai resep yang diberika dokter rudi padanya.
Terimakasih ya dok, kami mau ambil obatnya dulu”. Kata ayah dan ibu seraya beranjak dari kursi meminta izin keluar dari ruang Check up dan berjalan keluar menuju apoteker yang tak jauh dari rumah sakit, yang hanya melewati delapan ruangan yang ada dirumah sakit tersebut dan langsung terlihat apoteker khusus di rumahsakit itu.
“Sama – sama, semoga saja ya pak, bu”. Dengan menatap ayah dan ibu yang sedikit terburu-buru karena takut aku sudah pulang kerumah.
Selesai mengambil resep dari apoteker ayah dan ibu langsung pulang kerumah setelah tiba dirumah belum melihat aku pulang ayah langsung menuju kesekolahku unjuk menjemputku.
Sementara di sekolah hanya tersisa Aku dan Winda yang berdiri diluar pagar sekolah, dengan bercerita ria sambil menunggu ayah menjemputku. Lebih kurang tiga puluh menit kami berdiri di sana kami tak melihat ayah datang.
Namun setelah guru-guru keluar dari kantor dan berjalan kepagar melihat kami yang masih berdiri dengan memakai seragam sekolah kami. Barulah terlihat mobil ayah dari kejauhan menuju kearah kami yang berdiri menantinya.
“Kalian belum pulang”. Tanya para guru yang baru keluar dari pagar sekolah menyapa kami. Windapun langsung menjawabnya.
Kami menunggu ayah sari menjemput bu itu ayahnya bu kata winda denga menunjukka mobil inova black yang dikendarai ayahku menuju kami.
“Owh kalau begitu hati-hati ya kata para guru kepada kami, seraya kami mensujuti tangan mereka. Sementara ayah langsung menyapa para guru.
 “Ayo bu, pak mau pulang bareng”. Dengan mengajak para guru menaiki mobil namun para guru menolak karena jarak rumah mereka jauh-jauh.
 Ayahpun langsung beregegas memutar mobil setelah menyapa para guruku yang menunggu tasi mereka tiba. Mobil kamipun berlalu dengan cepat hingga tak terasa kami sudah tiba di rumah.
Ayah kemana tadi kok tumben telat jemputnya tanyaku kepada ayah yang begitu terlihat cemas sebelumnya.
“Hemm ayah tadi sibuk dengan urusan kantor, hingga membuat ayah  sedikit telat menjemput kamu”. Kata ayah seraya masuk kerumah dan memanggil ibu.
“Hemmm apanya sedikit, tapi lumayan telat”. Tandasku kepada ayah  dengan memandang wajah ayah kemudian aku berkata-kata, namun ayah tidak mendengar kata-kataku karena Ia memanggil ibu yang dari kami pulang tadi ibu tidak menampakkan wajahnya.
Setelah beberapakali ayah memanggil ibu namun tidak ada sahutan dari ibu hanya suara ayah yang begitu penasaran karena tidak mendengar dan melihat ibu di dalam rumah. Akupun cemas karena tidak ada suara ibu didalam rumah kamipun mencari ibu dikamra dan seluruh ruang hanya saja kami belum keluar dapur.
“Ibu kami sudah pulang”. Sapa ayah dari ruang tamu kemudian berjalan keruang makan, Akupun mengikutinya seraya menoleh keseluruh ruangan yang kosong tanpa suara ibu yang menjawab panggilan ayah.
Saat aku menuju keluar dapur betapa terkejutnya Aku melihat ibu yang tergeletak di halaman dapur tepat dibawah jemuran yang mana banyak baju baju kami yang terjemur disana. Serta ada beberapa pakaiyan yang jatuh di lantainya.
Ayah lihat ibu ayah jeritku dari luar dapur memanggil ayah yang ada di dalam rumah. Ayahpun mendengar terikanku hingga membuat ayah berlari menuju suaraku yang memanggilnya.
MassaAllah kenapa ibumu tanya ayah yang kemudian mengendong ibu yang tak bergerak seolah tertidur.
“Kenpa dengan ibu yah?”. Dengan menangisku melihat ibu dalam gedongan ayah yang membawanya kekamar.
“Ibumu pingsan, mungkin Ia kelelahan”. Jawab ayah dengan memberikan minyak kayu putih dileher ibu dan keseluruh tubuhnya.
“Kamu ambil segelas air putih gih”. Pinta ayah padaku. Akupun mengambil air putih yang langsung memberikan pada ayah.
“Ini yah airnya seraya menyodorkan segelas air pada ayah yang kemudian aku lihat ibu perlahan membuka matanya.
“Ayah sudah pulang mana sari ?”.  Sapa ibu seraya menanyakan Aku pada ayah ditempat tidurnya. Ayah langsung menjawabnya dengan mengelap semua keringat yang mengucur di seluruh tubuh ibu.
“Ini Sari bu, ibu minum dulu ya” Ayah melihatkan aku yang dudukdisampingnya dan  memberikan segelas air putih pada ibu. Ibupun langsung meminumnya selesai meneguk airnya hingga tersisa setengah gelas ibu menatap wajahku.
“Kamu lama ya menunggu ayah ?”. Tanya ibu kepadaku yang duduk disampingnya bersama ayah. Tidak hanya beberapa menit jawabku dengan sedih melihat wajah ibu yang pucat.
”Ibu kenapa, ibu sakit ya. Kenapa ibu bisa pingsan”. Tanyaku pada ibu yang tampak lemas dan pucat, namun ibu tidak menjawab pertanyaanku Ia hanya melihat wajahku dan mengelap keringatnya yeng mengalir deras di pipinya, ayah langsung menimpali pertanyaanku.
“Ibumu terlalu lelah karena Ia kurang istirahat”. Jawab ayah yang menenangkanku agar aku tak begitu menghawatirkan ibu. Akupun hanya tertunduk mendengar perkataan ayah yang membuat hatiku sedih dan merasa bersalah. Ibu langsung menjulurkan tangannya yang ingin meraihku akupun mendekatinya dan menerima tangannya.
’’kamu jangan sedih, ini semua karena ibu yang kurang pandai menjaga kesehatan sendiri, bukan karena Sari”. Dengan berkata-kata sambil memelukku dengan eratnya. Ayah hanya melihat kami dan menggosok-gosok kepalaku dengan tangannya. Akupun membalas pelukan ibu dengan erat dan akupun merasakan betapa sedih bila tak ada ibu disampingku.
            Sari kamu ganti pakayan gih nanti kotor besok masih dipakaikan ayah menyuruhku berganti pakayan akupun melepas pelukakku pada ibu dan langsung beranjak dari dari kasur meninggalkan kamar ayah dan ibu.
            Baik yah sari ganti pakayan dulu kataku dengan melangkah keluar kamar ayah hanya melihatku dengan sekilas kemusian menutup pintu kamar.
            “Kenapa ibu bisa pingsan, kepala ibu terlalu pusing ya”. Tanya ayah kepada ibu dengan begitu penasarannya.
            Ia yah, kepala ibu tadi mendadak pusing membuat pengelihatan ibu gelap dan ibupun tak sanggup berjalan hinnga membuat ibu pinsan. Ibu berkata kepada ayah dengan menghapus keringatnya.
            “Besok ayah akan carikan orang untuk mengerjakan pekerjaan rumah kita, agar ibu bisa istirahat dan tidak perlu lagi kerja keras dirumah hingga membuat ibu kelelahan timpal ayah kepada ibu yang mengelap seluruh keringat mengakir ketubuhnya.
            “Ibu tidak mau yah, nanti ibu tidak punya kesibukan dirumah”. kata ibu dengan menolak saran ayah yang ingin mencarikan pekerja rumah untuknya.
            “Ibukan bisa membuat kesibukan dengan menjahit, merawat mawar-mawar ibu”. Tandas ayah yang memaksa ibu agar beristirahat dari pekerjaan berat yang biasa ibu lakukan di rumah sendiri. Ibupun hanya bisa mengehela nafas panjang, setelah mendengar perkataan ayah yang terlihat memaksanya, agar dirinya tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.
            “Hemmm baiklah kalau begitu”. Dengan menyerah dan menyetujui permintaan ayah.
            Itu baru istri ayah yang cantik seraya mendekat dan mencium kening ibu yang tersandar di kasurnya.
            “Sekarang ibu istirahat dulu ya biar ayah yang ambil pakayan”. Kata ayah menjelaskan pada ibu dengan membuka bajunya guna mengganti pakayannya.
            “Ia, tapi apakah kalian tidak lapar, ibu lapar ni”. Dengan mengingatkan ayah yang belum makan siang karena waktu sudah cukup telat untuk makan siang yaitu pukul 13:10 siang.
            “Oh iya, Sari pasti sangat lapar” Jawab ayah yang membuka pakayannya dan menggantinya.
            “Tunggu ibu sudah baikan saja kepantinya yah, sekarang ibu ganti pakayannya sudah basah sama keringat ibu tuh bulum minyak nya”, Kata ayah yang menganbilkan ibu pakayan dari almari kamar mereka serta menyuruh ibu menggantinya. Ibupun bersegera mengganti pakayannya dan menggunakan pakayan yang ayah berikan.
            Sementara ayah langsung keluar kamar menuju luar dapur dengan mengankati jemuran selesai mengangkat jemuran ayah menaruh pakayan ke dalam bok pakyan yang ada di ruang tengah, dan kemudian melangkahkan kaki menuju kamaku.
            “Tok…tok….. Sari kamu tidak lapar ?, kita makan yuk”. Ajak ayah dari luar pintu kamarku. ketukan pintu dari kamarku itu membuat Aku terkejut, karena Aku yang duduk dimeja belajarku sangat serius mengerjakan tugas yang baru diberikan guru sekolahku. Aku langsung saja menoleh kearah pintu kamarku dan membukanya.
            “Ibu mana yah ?, ibu tidak ikut makan”. Tanyaku kepada ayah yang menghawatirkan keadaan ibu yang kulihat kurang sehat.
            “Ibu sudah ada dimeja makan menunggu kita”. Kata ayah mennyuruhku bersegera makan siang. Akupun segera merapikan meja belajarku yang berantakan karena penuh dengan buku pelajaranku. Ayahpun meninggalkan aku dari kamar yang merapikan buku dimeja belajarku.Kemudian ayah mendekati ibu di ruang makan yang menyajikan makan siang.
“Mana Sari yah ?”. Tanya ibu pada ayah yang melihat kearah kamarku.
“Nanti Ia keluar bu, Ia lagi menata bukunya dulu”. Kata ayah mendekati ibu yang kemudian duduk mengambil segelas air dan meminumnya. Setelah buku tertata rapi. Aku langsung keluar kamar menuju meja makan yang mana ayah dan ibu telah menungguku untuk makan siang bersama.
“Kamu tidak lapar sar ?, Sepulang sekolah langsung belajar”. Tanya ibu kepadaku yan duduk kekursiku di depannya.
“Belum saja bu, karena setelah melihat ibu pingsan tidak terasakan lapar”. Kataku dengan meminum segelas air, yang sudah disiapkan ibu untukku.
“Hemmm kalau begitu kamu bisa sakit, kalau makan tidak teratur. Ayo kita makan ini sudah telat makannya”. Ajak ibu seraya memberikan aku lauk pauk yang siap santap. Ayahpun langsung menyantap makanan yang ada. Aku tampak penasaran pada ibu karena tidak seperti biasanya wajah ibu yang begitu cerah, kini tampak pucat dan lusuh. Aku sangat menghawatirkan keadaannya.
“Bu kapan-kapan saja ya, kita kepantinya”. Kataku yang menatap ibu dari kursi makan yang mana kursiku tepat berhadapan dengan ibu yang melahap makannnya dengan nikmat.
“Hemm tidak apa-apa Sari, ibu sudah tidak pingsan lagikan, kenapa harus batal kepantinya. Bukannya kamu sudah janji sama ibu mau kasih pakayanmu hari ini”. Ibu menerangkan kalau ia bisa pergi kepanti walau aku tau kondisi ibu tidak mungkin.
“Tidak apa-apa Sari ayah juga ikut kok ibu baik-baik saja ibu hanya sedikit kelelahan setelahnya kita bisa beristirahat dirumah kata ayah dengan meyakinkan kau akan keadaan ibu.
“Baiklah kalau begitu kita pergi, namun ibu tidak perlu membawa yang berat-barat, ok”. Saranku kepada ibu yang kemudian menyuap nasi kemulutku.
“Ia, ibu tidak akan angkat yg berat-berta, ibu hanya duduk memperhatikan kalian dan anak panti nantinya. ibu tersenyum padaku dan meminum segelas air didepannya.
“Oh, ia nanti ayah akan cari pekerja rumah untuk rumah kita”. Kata ayah memberitahukan pada kami. Ibu hanya terdiam mendengarnya aku langsung terkejut mendengarnya .
Benarkah apa yang ayah katakan tanyaku kepada ayah seolah tak mempercayainya.
Ia ayah akan cari pegawai untuk dirumah kita kata ayah dengan tersenyum melihat aku dan ibu . Nmaun ibu hanya tertunduk diam dengan menyupa nsai kemulutnya tak menghiraukan perkataan ayah.
Sari setuju ayah kan bisa membuat pekerjaan ibu menjadi ringan kataku kepada ayah. Dan melihat kearah ibu
Bagaimana bu setuju tanyaku kepada ibu yang terdiam tak memberikan komentar. Ibupun langsung mengangkat kepalanya dan mengikan saja pertanyaaku padanya hingaa membuat aku senang
***
Selesai makan kami bersegera mempersiapkan untuk pergi kepanti asuhan yang mana telah kami rencanakan beberapa hari yang lalu. Dalam perjalanan kami mampir disebuah toko khusus penjual kado-kado kami membeli bermacam-macam kado disana yang mana kadonya sudah disimpan dalam suatu kotak unik bisa di buka langsung apa isinya.
Setelah kami membelinya kami langsung melanjutkan perjalanan kami menuju ke Panti Asuhan Babakan Ciamis. Setiba di sana kamipun membawa semua apa yang akan kami berikan dan langsung disambut mereka dengan bahadia selsai kami memberikan semuanya kamipun pamit pulang.
Dalam perjalanan pulang tiba-tiba ibu tertidur dalam mobil kami melihat ibu tampak lelah ibu tetidur di dalam mobil dengan nyeyaknya tampa ia sadari saat ayah membelok mobil badan ibupun meliukan dan bergerak sesuai gerak mobil hingga membuat ibu terbangun seketika.
“Aduh, kita masih di jalan ya ibu terkejut melihat kami yang masih bersamanya didalam mobil. Kamipun melihatnya dengan kasihan karena ibu terlihat tidak sanggup lagi untuk berjalan jauh karena ia sudah  terlalu lelah.
Sebentar lagi kita sudah sampai bu kata ayah melihat raut muka ibu yang memucat seperti tak berdarah. Dengan mempercepat laju mobilnya ayah menoleh ibu yang terasa ingin pingsan namun ketika ayah meninkungkan mobil kearah kanan jalan ibi tampak bergeser kearah ayah yang sedang mengendarai mobil dan ibu tak memperbaiki duduknya. Ayahpun langsung memanggil ibu.
“Bu bangun bu, sebentar lagi sampai”. Tegur ayah seraya memegang bahu ibu yang bergeser ke bahunya. Namun ibu tak juga bangun ibu sepertinya pingsan. Aku yang melihat ibu tak bersuara lagi langsung saja aku menyuruh ayah menyetopkan mobilnya.
“Ayah tepikan mobilnya, ibu sepertinya pingsan”. Nadaku cemas melihat ibu tak bergerak dikursinya. Ayah yang mengetahui lebih dulu hal itu tidak berkomentar, namun Ia malah memutar mobilnya dengan cepat, guna kerumah sakit.
“Ayah kita mau kemana, kenapa tidak berhenti sebentar ?’. Tanyaku pada ayah yang tampak galau.
“Kita mau kerumah sakit ibumu harus diperiksa”. Ayah memeberitahuku dengan mempercepat mobilnya. Aku hanya terdiam mendengar perkataan ayah,dengan cemasnya Aku melihat ibu yang pinsan  Akupun mendekatinya dan memegangi tubuhnya yang kaku tak bergerak. Yang kemudian aku menangis melihat ibu tak kunjung sadar dari pingsannya.
“Setiba di rumah sakit ayah langsung mengendong ibu kesana dan ibu di sambut dokter yang ada disana dengan membawa ranjsang pasian. Ibu langsung di tidurkan ayah disana kemudian ibu didorong menuju ruang UGD ( Untuk gawat darurat ) setiba disana kami tidak tidak diperbolehkan masuk kamipun menunggu diluat sementara aku yang melihat ibu hanya bisa menagis tak henti-hentinya. Ayah langsung memelukku dan langsung mengeluarkan kata ma’af dengan lirihnya dipelukannku
“Ma’afkan ayah Sari, ma’afkan ayah”. Dengan pelukannya yang erat ayah meminta ma’af padaku. Aku yang mendengarnya langsung bertanya padanya.
“Mengapa ayah meminta ma’af kepadaku ?”. Tanyaku kepada ayah dengan curiga, dalam isak tangisku yang membuat nafasku tersengal-sengal dan sulit untuk berkata-kata.
Ayah dan ibu telah membongimu dalam peluknya ayah menjawabku dengan tangisnya. Aku langsung melihat wajah ayah dalam pelukku aku langsung mengelap air matanya dan mengajaknya keantin rumahsakit sebentar agar kami bisa bicara dengan jelas.
“Ayah jangan menangis sari tidak ingin lihat ayah menangi dengan meneglap air matanya aku menarik ayah menuju kantin .
“Ayo kita kekantin bentar kita beli minum ajakku kepada ayah yang begitu sedih dan dengan muka yang tampak kusam karena melihat ibu pingsan dalam mobil.
Setiba di kantin kami langsung membeli dua gelas air minum pelastik, kamipun membuka tutupnya dan minum bersama. Setelah nafas sedikit lega barulah aku bertanya kepada ayah yang tampak lemas dan tak mampu berbicara.
“Kenapa ayah tadi minta ma’af padaku”. Dengan kami melangkahkan kaki menuju ruang UGD untuk melihat ibu aku bertanya pada ayah. Ayah langsung menjawabnya dengan sedih.
Ayah tidak memberitahumu kalau ibumu mengidap penyakit hepertensi ayah berkata dengan tertunduk dan lirinya.
“Apa”. Dengan terkejutnya aku mendengar perkataan ayah bahwa ibu mempunyai penyakit hipertensi yang selama ini tidak aku ketahui. Hingga membuat aku merasa bersalah atas kejadian yang menimpa ibu sekarang ini.
“Kenapa ayah tidak memberitahuku sebelumnya ?, kenapa ayah baru memberi tahuku sekarang?.” Tanyaku dalam tangis tak terbendungkan hingga ayah hanya bisa melihatku diam lemas.
Setelah tiba di depan ruang ugd kami duduk disebuah kusi panjang kayu yang sudah ada disana untuk keluarga pasian menunggu. Ayah langsung menatap mataku dan menjelaskan semuanya hingga aku memahami kalau ibu tak ingin aku mengetahui penyakitnya.
“Ini semua karena kami menyayangimu, kami tidak ingin melihat kau sedih yang bisa menganggu sekolahmu. Ibu juga tidak mengizinkan ayah memberi tahu kamu kalau ibu sangat mudah lelah karena diusiamu sekarang ini kamu masi perlu banyak tau akan penakit ibumu ini. Kami berencana memberi tahumu setelah kau lulus SMP namun setelah melihat ibumu seperti ini ayah tidak sanggub. Dengan sedihnya ayah menceritakan semuanya hingga membuat aku menangis terisak-isak mendengarnya.
“Tak berepa lama kemudian seorang suster keluar dari ruang UGD dan langsung menyapa kami. Kamipun langsung beranjak dari kursi setelah melihatnya keluar dari ruang UGD.
“Bapak keluarganya ya”. Sapanya kepada ayah dan aku yang menunggu ibu dari tadi hingga membuat aku mnegis tak henti-hentinya setelah mendengar perkataan ayah.
“Bagaimana dengan istri saya sus ?”. Tanya ayah pada suster dengan tak sabar dan ingin tau keadaan ibu sebenarnya.
“Tenang dulu pak, istri bapak sekarang belum sadar juga, dia butuh perawatan disini”.  Kata suster menerangkan keadaan ibu pada kami yang tampak cemas.
Susterpun lansung meninggalkan ia melangkahkan kakinya menuju ruangannya kami yang mendengar perkataanya dengan sedih yang ingin melihat ibu segera. Ibu belum juga sadar bagai mana ini yah tanyaku cemas dan mengis memeluk ayah.
Ayahpun menenangkan Aku, agar Aku tidak menangis terus menerus. ayah mengajakku kemusolah yang ada di rumah sakit setempat kamipun langsung menuju musolah dan sholat adhzar disana, karena kebetulan adzn telah berkumandang hingga membuat kami ikut untuk melaksanakan sholat berjamaah disana.
Selesai sholat kami berdoa hingga bercucuran air mataku dalam membacakan do’a dan membuat mungkenah yang aku pinjam dari musolah tersebut basah, karena air mataku yang bercucuran keluar karena do’aku yang ingin melihat ibu segera sadar dan sembuh serta bisa bersama denganku kembali seperti sedia kala.
Selesai melaksanakan sholat adzhar kami langsung kembali menuju ruang UGD. Seorang suster memanggil ayah masuk keruangannya akupun mengikuti ayah menuju ruangan suster tersebut. Susterpun memberitahukan kalau ibu telah dipindahkan keruang pasien. Kamipun meinggalkan suster tersebut dan pergi menuju ruangan ibu yang mana telah diberi tahukan suter pada kami.
Tiba di sebuah pintu yang bertuliskan Ruang A12 Viip wanita, kamipun mengetuknya dan membukanya kami melihat seorang perawat memerikas ibu dengan melihat mesin pengatur nafas ibu serta selang yang ada di di hidung serta mulut dan tangannga juga ibu membuat kami begitu cemas dan tak mampu bekata-kata kami langsung mendekatinya dan memeluk tubuhnya yang kaku tak bergerak hanya suara mesin pernafasan ibu yang berbunyi kecil.
            “Ibu bangun ya, bu ayah tidak mau lihat ibu seperti ini, Ayah berkata pada ibu dengan menggenggam tangan sebelah kirinya akupun memeluknya dengan erat dan menagis tak henti-hentinya. Ayah pun langsung menarikku agar aku tidak menangis.
Sari kita tidak boleh menangis, kita harus bisa memberi ibu motifasi agar ibu bisa cepat tersadar dari pingsannya. Dengan meraikku dan memelukku erat .Akupun langsung membalas pelukan ayah, dengan kuhapus air mataku agar bisa menahan tangisku. Kemudian kami mebaca do’a di samping ibu, agar ibu bisa mendengar perkataan kami kamipun memberinya kekuatan serta motifasi agar ia tetap kuat dan bisa tersadar dari pinsanya.
Tak lama kemudian datang seorang suster ia menyuruh kayah menemuinya di ruangannya ayahpun mengikutinya. Sementara aku menjaga ibu sendiri di sana. Setelah ayah tiba di ruangan bersama suster, susterpun langsung memeprsilakan ayah duduk di kursi yang ada meja beserta tumpukan buku di atasnya.
“Tunggu sebentar ya pak, saya akan pangilkan dokternya dulu. Dengan meminta izin kepada ayah guna memangilkan dokter yang menangani penyakit ibu. Lebih kurang tiga menit ayah di tinggalkan suster yang meminta izin memanggil doter khusus, ayah menunggu dengan tak tenang, kemudian datang dokter yang seperti biasanya ibu check up padanya, dialah dokter Rudi. Dengan duduk dikursinya dokter Rudi melihat wajah ayah tampak lemas.
 “Sabar ya pak, mungkin ini berupa ujian atau cobaan dari tuhan untuk kita”. Kata dokter Rudi yang melihat wajah ayah tak bergairah. Ibu ida benar-benar tidak kuat menahan darahnya yang cukup tinggi hingga membuat kepalanya pusing dan sulit untuk beraktifitas ini menyebabkan kefatalan yang menyebabkan ibu Ida  tak sadarkan diri hingga sekarang.
Dokter Rudi menjelaskan pada ayah bagaimana bahayanya hipertensi yang diderita ibu, hingga membuat ayah tampak tak kuat mendengarnya, ayah takut ibu menderita stroke. Selesai mendapat wejangan dari dokter ayah langsung menemuiku yang dudk di samping ibu.
Sar kamu pulang ya nanti ayah kasi uang naik angkot kamu ambil pakayan ibu bawa kesini ayah menyuruku pulang karena hari sudah sore ibu belum juga sadar.
Baik yah kataku dengan sedih dan lemah melihat keadaan ibu yang tampak tak memungkinkan bangun. Akupun Pulang kerumah dengan muka kusam dan tampak lemah lunglai karena mnghadapi kejadian tak terduka serta merasakan teramat sedih karena ibu dan ayah tidak memberi tahu sebelumnya kejadian yang bisa membuat ibu seperti ini.
***
Setelah tiba di rumah langsung saja aku membuka pintu dan semua keperluan ibu aku bawa kerumah sakit. Setelah selesai aku mempersiapkan semua aku langsung mandi dan bersegera menyiapkan semuanya keperluanku untuk menjaga ibu. Ketika aku sedang sibuk menyiapakn peralatanku, terdengar suara ketukan dan salam perempuan dari pintu luar, yang membuatku tampak terkejut karena tidak ada siapapun di rumah hanya aku sendiri.

“Tok…..tok…tok…...Assalamualaikum” Suara perempuan yang tampak jelas terdengar di telingaku.
“Wa’alaikum salam, ya tunggu sebentar”. Jawabku dari ruang tengah yang menyiapkan peralatanku guna di rumah sakit nantinya. Akupun segera melangkah kepintu dengan bertanya dalam hati. Aku lirik orang yang berada di luar dari balik gorden jendela yang setengah tertutup, kemudian Aku bukakan pintu.
Owh bu Rani dengan mempersilakan masuk pada ibu rani yang kemudian kami mask ke ruang tamu setelah kupersilakan duduk aku melangkah kedapur guna mengambil air minum, namun di cegat langsung bu Rani. Tidak usah sar ibu dating kesini hanya ingin menjmputmu kerumah sakit. Aku tampak diam mendengarnya dan sedikit bertanya.
Ibu tau kalau ibuku masuk rumah sakit tanyaku pada ibu Rani yang memegang tanganku melarang aku mengambil air minum untuknya. Akupun duduk mendengarkan ia menyampaikan pesan bos dan ayahku.
Tadi sekitar pukul 04:20 ayah sari menelpon bos saya dan bos saya pun menyuruh saya bekerja disini kata bu Rani yang membuat aku sedikit bingung. Ibu Ranipun menjelaskannya lagi kalau ayah ingin bu rani bekerja di rumah dan sekarang ibu dirumah sakit. Sebelumnyapun ayah sudah memberitahukan semuanya hanya saja ayah tidak menjelaskan kalau ibu Rani yang akan bekerja. Ahirnya aku memahami semuanya hingga kami berduapun menyiapkan semua peralatan untuk dirumah sakit nantinya.
Dengan sibuknya kami menata peralatan kami. Aku melihat jam dinding tepat berada di atas televisi waktu telah menunjukkan pukul 05:30. Akupun langsung mengajak ibu Rani bersegera pergi kerumah sakit. Karena hari sudah hampir magrib dan ayah sendirian di rumah sakit.
Dalam perjalanan kerumah sakit aku menagis tak tertahankan hingga membuat orang-orang dalam angkot menujukan pandangannya kepadaku yang duduk bersama ibu Rani di kursi tepat belakang sopir.
Jangan menangis ya neng enggak enak dilihat orang kata ibu rani menasehatiku yang mesih menyucurkan air mata.
Ia bi tapi aku tidak menyangka akan jadi seperti ini kataku dengan lirih dan isak tangisku. Ibi Ranipun menghapus air mataku ia memelukku dengan sebelah tangan kanannya dan menggosok gosokkan tangannya pada bahuku. Seolah menyuruhku sabar. Iapun berkata padaku
“Kalau neng sudah dewasa nantinya neng akan mengerti kalau kasih sayang orang tua neng tidak akan hilang. Jadi neng harus bersabar dan mendo’akan mereka terus”. Kata bu Rani yang memberiku semangat agar aku lebih dewasa. Setiba di rumah sakit kami langsung menemui ayah yang duduk di smaping ibu.
Ayah panggilku setelah membuka pintu ruangan ibu yang kemudian diiringi ibu Rani di belakangku.
Ia kamu sudah datang dengan tesnyum pakau ayan menggadeng tanganku dad duduk didekatnya.
Terima kasih ya bu, ibu mau bekerja dirumah kami kata ayah yang melihat ibu rani didepannya yang mana ibu Rani memandangi muka ibu yang tak sadarkan diri.
“Ia pak sama-sama, saya merasa kalian adalah saudara saya sendiri, saya juga pernah menglami kejadian yang sama, saat suami saya sakit.” Kata bu ida dengan memandan muka ibu yang terbaring tak sadarkan diri.
Setelah ibu rani berkata tampak bergerak jari ibu dan suara mesin nafas ibu tampak berbunyi cepat. Aku dan ayahpun tampak terkejut dan memanggil dokter dengan meminjit tombol guna memanggil dokter.
Setalah kami memicit tobol yang ada di dinding tepat di atas meja kecil tempat menaruh cangkir serta perlatan lainnya di samping kasur ibu dekat dengan ayah duduk. Dokterpun tiba di kamar dengan langsung memeriksa ibu, kamipun disuruh dokter keluar. Setelah kami keluar Tampak terdengar suara Adzan magrib dari musholah rumah sakit setempat. kami segera menyuruh ayah mandi dan sholat biar nanti kami menyusul setelah ayah selesai sholat karena kami menjaga ibu.
“Kamu sholat saja dulu, biar ibu dan neng Sari yang jaga ibu Ida”. Kata ibu Rani menyuruh ayah sholat magrib. Ayahpun langsung mengiakan kata-kata ibu Rani. Dengan wajah kusam serta tubuh yang lunglai ayah melangkahkan kakinya menuju musholah yang ada di rumah sakit tersebut.
“Ia, bu tolong di jaga ya bu kasi tau saya setelah memeriksa nantinya” kata ayah dengan melangkah meninggalkan kami menuju musolah setempat.
Setelah ayah meninggalkan kami, dokter keluar dari kamar ibu. Dokter berkata pada ibu Rani bahwa ibu sudah ada perkembangan pada ibu, ibu ingin sadar namun sulit dokter menyarankan ibu di ajak komonikasi dengan orang yang Ia kenal dekat.
Ibu Ranipun menganggukan kepala tanda mengerti, setelah mendengar dokter memberikan pengarahan padany dengan tegas. Kamipun di persilakan kembali masuk dalam kamar dimana ibu yang terbaring, sudah tidak lagi memakai alat pernapasannya. Akupun langsung mendekap ibu yang masih tapk tertidur.
“Bu, ibu harus kuat dan bisa masak nantinya untuk Sari”. Dengan tangisku memeluk ibu erat. Sementara ibu rani yang ada di belakangku hanya bisa memandangi wajah ibu dengan sedih.
“Sari kamu harus bisa beri kekutan pada ibumu, mungkin dengan kita bacakan Al-Qur’an bersama, ibumu akan cepat sembuh dan sadar”.  Kata ibu Rani yang memberikan saran padaku yang masih memeluk ibu. Akupun bangkit.
Aku langsung bangkit dari memeluk ibu dan segera menambil Al-Qur’an yang ada di tas sekolahku yang aku bawa dari rumah. Kamipun membacakan Qur’an untuk ibu. Aku sangat berharap ibu mendengarkannya serta ibu bisa sadar dan semua kembali seperti semuala saat kami bahagia bersama di rumah.
***
Tak lama kemudian kami yang sedang mengaji, tak terdengar suara ketukan pintu, karena dengan seriusnya membaca Al-Qur’an hingga ayah yang baru selesi sholat magrib masuk kedalam kamar ibu dan melihat kami yang sedang membaca Al-Qur’an tidak mengetahui kehadirannya. Setelah ayah mendekati ibu dan mencium kening ibu barulah kami tersadar bahwa ayah sudah selesai sholat.
Ayahpun langsung menanyakan kepada ibu Rani, tentang hasil pemriksaan dokter pada ibu saat ayah meninggalkan kami untuk sholat magrib barusan. Ibu Ranipun mnerangkan apa yang telah beritahu dan kemajuan pada ibu. Ayahpun mendengarnya dengan menarik nafas panjang serta mempersilkan kami sholat magrib dan ia yang menjaga ibu.
 “Bu, silahkan kalian sholat, biar saya yang menjaganya”. Kata ayah yang mempersilkan kami sholat kamipun meminta idzin untuk sholat ke masjid setempat. Setelah kami keluar dari kamar ibu dalam langkah menuju ke masjid aku merasakan sesuatu yang berbeda yang tidak seperti biasanya aku rasakan. Rasa takut serta seperi ada yang lupa akan sesuatu. Setelah tiba di masjid kami langsung mengambil wudhu dan melakukan sholat bersama.
Selesai sholat kamipun merapikan mungkenah yang kami pinjam dari musholah itu. Ibu Rani yang belum lama kenal denganku sudah tampak begitu akrab denganku dan terasa begitu lama kami kenal,  karena Ia sangat dekat dengan ayah dan ibuku, Iapun tak merasah segan untuk berkata-kata maupun melakukan sesuatu untuk kebaikan kami.
“Bu kenapa perasaanku tidak enak, ya”. Tanyaku kepada ibu Rani yang tampak siap melangkahkan kaki menuju ruang rawat ibu.”
“Kenapa neng ?”. Sapanya padaku dengan memandang wajahku lekat penuh tanya, Aku hanya memegang dadaku yang berdetak tak karuan karena rasa yang tak seperti biasanya Aku rasakan. Akupun tak berbicara banyak pada ibu Rani. Aku langsung mengajaknya bersegera menuju keruang rawat ibu.
“Neng tidak apa-apa ?. Tanaya ibu rani kepadaku yang tampak risau karena perasaanku tak seperti biasanya.
“Tidak apa-apa bu”. Jawab ku kepada ibu rani yang memandangku penuh tanya.
Setiba di ruang rawat ibu betapa terkejutnya aku. Aku tidak melihat ibu dirawat disana dan tidak ayah yang menjaganya disana. Kamipun segera menanyakan pada dokter setempat dokterpun memberi tahukan kalau pasien ruang A12 Viip wanita. Telah meninggal dunia dan sudah dipindahkan keruang jenazah kata dokter memberitahukan kepada kami.
Seperti disambar petir aku mendengar kata-kata dokter. Akupun berlari kencang setelah mendengar perkataan dokter yang membuat otakku tak berpikir sehat lagi. Hingga ibu Rani bersmaku tak teringat lagi aku hanya berlari dan berlari keruang jenazah. Ibu Rani yang ikut mengejarku tak kuat menahan larinya hingga Ia memanggil namaku dengan jalan cepatnya.
“Sariiii tunggu ibu, kamu pasti kuat neng”. Jeritnya dari belakangku yang tak kuhiraukan lagi. Aku hanya menangis dan berlari secepatnya menuju ruang mayat yang mana telah dokter katakan pada kami barusan.
Tiba di ruang dimana tempat para jenazah, aku menemukan ayah memeluk ibu erat yang mana sudah tertutup oleh kain putih di seluruh tubuhnya.
Ayah kenapa begini ?.  Kenapa ibu meninggalkan kita, yah ?. Tanyaku kepada ayah yang memluk ibu dengan eratnya seolah tak ingin lepas. Ayahpun tak berkata-kata haya terdengar isak tangisnya dalam pelukan ibu.
Aku mendekati tubuh ibu yang sudah dingin dan kaku dihadapanku kulihat wajanya dari balik kain putih yang menutupiny,a dengan bekas darah dari hidungnya aku megerakkan tubunya yang sudah tak bernyawa.
Bu bangun, bangun bu.............. suaruku sesak terdengar dan menggerak-gerakkan tubuh ibuku agar bergerak, namun itu sia-sia semua hanya duka bagiku ibu telah tiada. Ibu Rani tiba dan langsung Ia memelukku erat, Ia berkata pada ayah yang masih memluk ibu dengan eratnya.
“Pak Toni, bapak harus kuat, kasihan Sari pak kalau bapak lemah seperti ini”. Kata ibu Rani yang memlukku erat seraya memberi nasehat kepada ayah.
“Bu bangun...”. Dengan lemasnya aku berkata dan akupun tak sadarkan diri dalam pelukan ibu Rani.
***
Tepat pukul 07:00 malam aku tersadar dikamarku aku melihat  seisinya dan aku ditemani ibu Rani disampingku, akupun bertanya padanya
“Kemana ibuku, bu ?. Kemana ayah ?. Tanyaku pada ibu Rani yang menangis melihatku membuat aku bingung kenapa aku beradadirumah kemana ayah dan ibuku setelah aku beranjak dari kasur ibu rani langsung mencegatku dan memelukku erat.
“Tunggu neng”. Panggilnya dari duduknya dikasurku akupun menoleh kearanya dan Ia segera memegang tanganku kemudian mendekapku dengan eratnya, seolah tak ingin melepaskan Aku. Akupun meronta dalam pelukannya Bu lepaskan Aku, Aku ingin melihat ayah dan ibuku. Masih aku bertanya padanya, yang tampak muka dengan sedihnya.
Ibu Ranipun melapskan pelukannya dan ia menggadeng tanganku kamipun keluar kamar bersama, saat aku melihat ruang tamu dari luar kamarku betapa terkejutnya aku. Aku melihat semua orang-orang ramai dengan membacakan do’a setelah Aku tiba tepat di ruang tamu.
Aku terkejut ayah dengan menggunakan pecinya duduk di samping sebuah matras, tampak sebuah jasad tertutup kain disana, hingga membuat hatiku bertanya. Akupun langsung mendekati ayah dan bertanya padanya.
“Ayah kemana ibu ?.  kenapa ini ramai sekali aku bertanya kepada ayah dan kemudian menatap sekelilingnya yang melihatku dengan tampak sedih. Ayah langsung memelukku dan memberiku nasehat agar aku bisa menerima kenyataan sebenarnya.
“Sari kamu anak ayah yang sudah dewasakan, kamu pasti mengerti akan kematian, dan setiap orang pasti akan mati”. Ayah berkata dengan memelukku. Akupun mendengarnya dengan tanda tanya dalam hatiku. “Apakah yang tertutup kain ini adalah ibu. Dengan bertanya dalam hatiku memandang kain yang menutupi tubuh dikasur  yang kemudian ayah melepaskan pelukannya. Ia membukakan kain yang menutupi muka ibu.
“Ibumu sudah di sisinya sekarang kita harus iklas memberikannya, ibu kini sudah kembali padanya kata ayah dengan membuka kain penutup muka ibu.
Akupun tak sanggup lagi berkata-kata dan langsung memeluknya, ayahpun ikut memelukku. Ia memberikan buku yasin kepadaku agar Aku membacanya untuk ibu dan tidak menangisinya.
“Ibu............Ini sari bu..........tangisku dalam pelakanku di tubuhnya yang tampak dingin dan kaku ”.
“Sari sudah, hentikan tangisanmu”. Ayah menarik aku dari pelukanku yang erat ketubuh ibu yang kaku dihadapanku.
“Kamu baca do’a ya untuk ibu, tidak baik menangisinya. Bukankah sudah ayah kasi tau, kalau kita juga akan mati”. Ayah menasehatiku, Akupun mendengarkannya dan langsung melepaskan pelukanku kemudian Aku meraih buku yasin yang di berikan ayah kepadaku.
Kamipun membacakan do’a untuk ibu hingga tak terasa waktu telah larut malam namun Aku tidak merasakan kantuk semua orang sudah pulang hanya saja aku dan Ibu rani juga paman dan bibi berada di samping kami memberikan dukungan moril pada kami. Ibu Rani sibuk menyiapkan makanan untuk para tamu yang nanti datang guna melihat dan mendoakan ibu.
***
Waktu sudah tak memungkinkan lagi untuk beraktiftas semuapun tertidur namun Aku dan ayah tidak bisa tidur karena ingin menjaga Ibu kami selalu mebacakan do’an mengaji untuk ibu.
Tak terasa pagipun tiba, tidak adalagi kegelapan. Aku yang lelah seharian tak tertidur bersama ayah tampak lemas dan lusuh. Warga setempatpun datang melayat guna mendoakan jenazah ibu. Teman-teman dan gurukupun hadir ikut 
mendo’akan jenazah ibuku. Selesai kami memandikan jenazah ibu, siaplah jenazah ibu untuk dikain kafani dan disholatkan. Kami segera menyusun sab di ruang tamu, yang mana imam pemimpin adalah ustadz guru mengajiku. kami yang berada di belangnya adalah makmumnya.
Selesai melaksanakan sholat jenazah untuk ibu, kemudian jenazah ibupun dimasukkan kedalan keranda yang kemudian di bawa keambulan aku bersama dengan mobil ayah serta bebrapao rang lainnya yang ikut mengiringi jenazah ibu guna dimakamkan.
Sampai di pemakaman  Cimori Lebak Ciamis, Jawa Barat disanalah ibu akan dimakamkan. Setelah tiba disan keranda ibu dikeluarkan oleh petugas rumah sakit yang membawa jenazah ibu dengan ambulannya. Setelah siap untuk dimakamkan ayah turut mengangat jenazah ibu yang tertutup rapi dengan kain kafan sebagai bajunya.
Aku yang melihatnya tak kuasa melepasnya, namun air mataku tak mampu lagi mengalir, nafaskupun tampak sesak. Mataku yang membengkak karena tangisku tak hentinya. Semua yang melihatku lansung medekatiku dan memelukku. Winda teman yang selalu memberiku kekuatan berbisik di telingaku.
“Jangan mewek lo Sar, jelek kamu kalau mewek”. Ledeknya ditelinaku yang membuat aku langsung menatapnya dan memeluknya erat. Iapun membalas pelukanku.
Selesai melakukan pemakaman pada jenazah ibu aku dan ayah belum mau meninggalkannya karena masih ingin bersamanya namun setelah melihat langit yang mendung seolah ingin menumpahkan airnya. Kamipun beranjak dari pusara ibu dan segera melangkahkan kaki kemobil ayah yang diparkir tidak begitu jauh dari tempat pemakaman.
Dalam mobil ayah tidak langsung mengendarai mobilnya. Ia mendekatiku dan berkata padaku seraya menggosok-gosok kepalaku. Karena itulah kebiasaan yang sering ayah lakukan kepadaku, bila Ia ingin berbicara padaku dengan seriusnya. Ia menunjukkan tampak sayangnya padaku.
“Sari mungkin lusa kamu sudah bisa bersekolah kembali seperti biasananya, Kata ayah kepadaku yang tertunduk tak mengeluarkan kata-kata.
“Kita tidak tidak boleh larut dalam kesedihan itu tidak baik”. Dengan menasehatiku dan kemudian Ia mengemudikan mobilnya.

Dalam perjalanan pulang ayah menyakan tape mobilnya dan memasukkan kaset semasa aku kecil dulu yang mana aku suka bernyanyi. Lagu ku itu ayah rekam dan kemudian ayah simpan dalam kaset hingga ayah menjadikan itu kenangan buat aku nantinya serta ia dan ibu juga yang menjadikan itu kenangan lucu semasa kecilku. Yang mana aku yang baru berusia empat sampai lima tahun. ayah dan ibu selalu menyuruhku bernyanyi.
Setelah mendengar suaraku dalam tape yang ayah putarkan dalam mobil kami tampak bahagia mendengarnya, dengan suara kecilku yang lucu mebuat ayah tertawa terpingkal-pingkal bahkan iapun menghentikan mobilnya ketepi jalan hingga Ia puas tertawa. Aku yang melihat mukanya yang merah karena tawanya yang meledak-ledak mendengar suaraku yang lucu bernyanyi potong bebek angsa dalam tape mobil. 
Setelah kami melanjutkan perjalanan, ayah yang mengendarai mobilnya menoleh kearahku yang duduk di sampingnya Ia memandangi mukaku dengan lekatnya. Kini mukaku yang mulai cerah tidak lagi murung seperti semulanya yang kusam mata membengkak juga wajah kusam.
“Kamu memang anak ayah yang selalu cantik walau dalam menangis atau melamun”. Puji ayah padaku yang menatap jalanan, yang penuh dengan kendaraan lain yang berlalu lalang melintasi mobil kami.
Aku langsung tersenyum J mendengar perkataanya yang memujiku agar Aku mau tersenyum.
Tapi kenapa Winda di pemakaman tadi mengatakan kalau aku itu jelek apalagi kalau aku menangis. Dengan manjaku menjawab pertanyaan ayah.
“Hemm itu kamu marah,ya pasti jelak”. Dengan tawanya meledekku. Aku yang tampak manjapun tertawa mendengar perkataan ayahku yang menghiburku hingga membuatku tertawa lega.
Ke-esokan harinya kami mengadakan do’a bersama untuk almarhum ibuku. Semua tampak serius membacakan do’a. Aku yang duduk diantara ibu-ibu yang turut membacakan do’a untuk almarhumah hanya aku tampak hanyut dalam dukaku, karena tiada lagi orang yang aku kasihi, pemberi semangat yang menasehati serta menyayangiku.
Dan kini Aku tak akan bertemu lagi dengannya, hanya kenangan terindah serta nasehat-nasehat darinya yang memotivasiku untuk lebih bersemangat meraih prestasi. Baik disekolah maupun pengajian hingga Aku mendapatkan semua prestasi yang aku harapkan sesuai kerja kerasku dan dukungan selalu dari kedua orang tuaku akupun mendapatkannya.
Semua telah sirna membuat Aku patah semangat dan tak mampu berpikir lagi, seolah tubuhku mati separuh dan tinggal sebelah namun aku ragu. Mampukah aku seperti dulu yang meraih prestasi yang selalu dikasihi dengan lembut dan mesra oleh seorang ibu yang aku sayangi. Yang mana Ia selalu dimotivasinya aku dengan dukungan mental serta kasih sayang penuh.
“Sari kamu harus kuat ya nak”. Sapa ayah dari sela-sela orang yang sibuk menyantap makanan mereka yang mana mereka baru saja selesai melakukan do’a bersama. Aku yang mendengar teguran ayah langsung saja tersigap dari lamunanku.
“Ayah Sari terasakan mimpi semua ini, kenapa ibu begitu cepat meninggalkan kita ?, masih banyak yang ingin Sari sampaikan padanya kenapa Sari harus kehilangannya”. Dengan tangisku bertanya pada ayah yang kemudian ayah memelukku dengan eratnya dan berkata pilu dengan pelukanku.
“Ma’afkan ayah nak ini semua salah ayah yang tidak memberitahumu sebelumnya akan penyakit yang diderita ibumu.” Dengan menangisnya aku langsung menatap mukanya kuhapus air matanya. Ibu Ranipun mendekati kami. Ia memegang bahu ayahku.
“Pak Toni harus bisa kuat dan bangkit jangan lemah”. Saya telah merasakan semua ini, ini semua adalah cobaan untuk kita, namun kita harus bisa melewatinya dengan sabar. Ibu Rani memberikan motivasi agar ayah tetap kuat.  Setelah mendengar kata-kata ibu Rani ayahpun melepaskan pelukannya padaku.
“Terimakasih bu, ibu saya tidak ingin larut dalam kesedihan ini, waktupun akan berganti kami harus bisa melewati semua ini”. Dengan memandang wajah ibu Rani yang turut berduka atas kepergian ibu. Namun Ia selalu memberikan kami dukungan moril agar kami selalu tetap kuat.
Aku langsung bangkit dari dudukku, dengan melangkahkan kakiku menuju kamarku, karena semua tampak permisi pulang meninggalkan rumah seusai mendoakan almarhuma ibu.
Di dalam kamarku Aku melihat kado yang telah diberikan ibu saat aku berulang tahun. Aku buka dalam lipatan rapiku, ku pakai dengan menghadap kaca rias yang ada di diding kamarku. Aku menitikan air mata ingat akan sulitnya ibu membuatkan kado berupa baju untukku.
Ayahpun mengetuk kamarku dan memanggilku dari luar pintu kamarku, aku bergegas membukanya kemudian kupersilakannya masuk. Ayahpun masuk kedalam kamarku Ia memandangi pakayanku.
“Sari kamu mengenakan baju pemberian ibumu”. Tegur ayah dengan melihat baju yang aku kenakan. Dalam pandangan yang lekat pada bajuku.
“Ia yah’ Sari mengenakannya tampak cantik. Ini semua karena jahitan tangan ibu yang rapi, dan ibu juga pandai menyatukan warnanya”. Dengan memandang pakayanku sendiri dari kaca rias yang tergantung didinding kamarku.
“Ia, ibu kamu memang pandai mendesain pakayan”. ayah menimpali perkataanku yang memuji hasil jahitan ibu dari baju yang aku kenakan.
“Sekarang sudah malam, besok kamu harus sekolah”. Ayah menyuruhku tidur sambil merapikan tempat tidurku, kemudian Ia meninggalkan Aku dengan melangkah keluar kamarku. Akupun menutup kemabli kamarku dan membuka pakaiyan yang Aku kenakan yang melipatnya kembali dengan rapi dan aku masukkan dalam lemari pakayanku.
***
Pagi-pagi ibu Rani sudah menyiapkan sarapan serta rumah yang bersih. Sementara ayah masih teridur di kamar. Aku yang melihat ibu Rani dengan sibuknya dihalaman depan lansung aku sapa dengan terima kasih karena Ia telah membuat rumah tampak bersi seperti sediakala dan tak tampak kekurangan khas kerja ibu.
“Bu terimakasih ya, atas semuanya”. Sapaku pada ibu Rani yang membersikan halaman luar rumah dengan sapuya. Iapun menolh kearahku yang ada di belakangnya.
“Sama-sama neng, sudah sewajarnya ibu melakukan semua ini”. Kata ibu Rani yang melangkahkan kakinya mendekatiku yang berdiri tidak begitu jauh di belakangnya. Iapun memlukku dengan kasih sayang hingga membuatku kembali bergairah.
“Neng siap-siap sekolah ya. Ini sudah pukul 6:30 WIB, nanti neng kesiangan dan jangan lupa sarapan biar ibu bangunkan ayahmu nanti”. Katanya dengan memelukku Ia berkata. Akupun bersegera mandi dan berpakayan seragam sekolahku. Ayah yang baru bangun dari tidurnya bersegara mandi dan aku yang menunggunya di meja makan dengan menuangkan air kedalam gelas.
Setelah ayah selesai berpakaiyan. Ia lansung mengahampiriku yang duduk dimeja makan. Dengan segera melahab makanannya dan merapikan pakayan yang dikenakannya
“Ayah kesiangan ni!!”. Dengan bersegera menyantap sarapannya. Aku yang melihatnya tampak tergesa-gesa langsung menegurnya.
“Ini baru jam tujuhkan, tidak apa-apa nanti ayah makannya tersendak karena tergesa-gesa”. Terangku berkata kepada ayah yang dengan cepat menyantap sarapannya.
“Ia ayo kita berangkap”. Dengan beranjak dari kursinya dan melangkah keluar.  Aku yang yang melihatnya beranjak dari kursi bersegera menggunakan sepatuku dan membawa tasku segera meminta izin pada ibu Rani.
“Assalamualaikum’ Sari dan ayah pergi dulu bu”. Jerit kecilku seraya melangkah menyusul ayah kedalam mobil.
“Ia, hati-hati neng”. Jawab ibu Rani dari dapur yang kemudian berjalan mengikuti langkahku dan berhenti dipagar luar serta menguncinya.
***
Setiba di sekolah aku langsung masuk ke-kelas aku melihat teman-teman sudah siap belajar. Winda yang duduk dibangkunya langsung melemparkan senyuman J kepadaku dan menyapaku
“Hei tumben siang, atau masih mewek ya”. Dengan meledekku yang mendekatinya duduk dan menaruh tasku kemeja. Aku hanya terdiam membuka tasku mengambil buku pelajaran.
“Kok diam, kamu marah ya atau belum sarapan ?”. Ia bertanya dengan memandang wajahku.
“Hei bawel, itu bu Intan mau mengajar kita. Kamu ini ya memang bawel aku menunjukkan ke arah bu Intan guru bahasa indonesia yang akan menuju kelas kami guna mengajar. mencibirinya yang melihatku dekat.
“Tak lama Aku berkata pada Winda, ibu Intan sudah berada di dalam kelas kamipun mengucapkan salam padanya yang kemudian dijawabnya serta kai memulai pelajaran.
Ia mengabsen nama kami saat giliran namaku di panggilnya. Ia langsung mengucapkan bela sungkawanya atas meninggalnya ibuku, Ia juga menasehatiku agar aku lebih dewasa. Jangan menyerah dalam meraih prestasi dan cita-cita karena jalan ku masih panjang. Itulah pesan ibu Intan padaku agar aku tidak patah semangat serta giat meraih prestasi yang pernah aku raih. Winda yang mendengar ucapan yang diberikan ibu Intan padaku langsung menimpalinya.
“Nah sekarang, kamu harus bisa lebih berprestasi. Jangan cuma mewek begini, jelek tau”. Dengan meledekku ia berkata. Akupun melihatnya dengan sedikit cemberut lalu mengiakan kata-katanya.
“Ia bawel, kamukan sahabatku yang sangat bawel”. Jawabku padanya yang melihat bu Intan dengan memegang penanya.
Ibu Intanpun memulai pelajaran dengan menerangkan dari isi buku cetak yang ada pada kami dan padanya. Ia memberitahukan pada kami tentang makna puisi serta cara membaca puisi yang benar.
Setelah cukup jelas Ia menerangkan pada kami. Ia menyuruh kami membuat puisi, yang mana kami membuatnya dengan karya kami sendiri. Tanpa melihat dari buku atau apapun karya orang lain. Setelah mendengar apa yang di perintahkan bu Intan Aku bersegera mencari ide membuat pusi karya ku sendiri. Dengan sesekali menatap keluar dan menggoreskan pena ke buku tulisku. Setelah aku mendapatkan ide akupun bersegera menrangkai kata dalam puisi.

“Do’a Untuk Ibu”
ketika dalam kejauhan
masihku ingat akan kasihmu Ibu
betapaku rindukan redup wajahMU
hadir menemaniku

terbayang ketenangan
yang selalu kau pemerkan
bagaikan tiada keresahan dalam hatiMu
walau hatiMu sering terluka
ketika diriku terlanjur salah berkata
tak pernah sekali kau tinggalkan
diriku sendiri

ketikaKu dalam kedukaan
kau mendekapku penuh pengertian
disaat diriku kehampaan
kau setia mengajarku
arti kekuatan

terpancar kebanggaan dalam senyummu
melihatku yang berjaya
bilaku kegagalan

tak kau biarkan aku dalam kecewa
dengan kata azimat
engkau nyalakan semangat
restu dan do’a kau iringkan

tak dapatku bayangkan
hidupku Ibu
tanpa engkau disisi
semua kasih sayang
yang kau curahkan
tersemat dihatiku
hingga kau ciptakan kenangan
 indah dalam hidupku

Oh’ Ibu semoga Tuhan
Memberikan kedamaian di alam sana
Putih kasihmu kan abadi
Dalam hidupku

Oh’ Ibu terima kasih
Untuk kasih sayang yang tak pernah usai
Tulus cintamu takkan mampu
Untuk terbalaskan

Oh’ Ibu'' putih kasihmu ‘kan abadi
Dalam hidupku
Karya : Purnama Sari
           
Setelah menulis puisiku Winda langsung menanyakannya. Tentang apakah puisi yang aku tulis ?. Namun aku tidak memberitahunya. Ia tampak penasaran akan puisiku, karena aku tidak membuka buku tulisku, yang mana telah kutulis puisiku disana.
Setelah lama kami diberi waktu menulis puisi, ibu Intan pun menyuruh kami mengumpulkan puisi kami di mejanya. Setelah terkumpul ibu intan memberikan nilai pada puisi yang kami buat. Ibu Intanpun menyuru kami membacakan puisi yang kami buat sendiri di depan kelas.
Kamipun tampak tegang ketika di panggil ibu Intan kepapan tulis untuk maju membacalan puisi karya kami sendiri. Ketika namaku di panggil akupun segera bangkit dari kursiku dan mengambil buku yang di berikan ibu Intan kepadaku guna aku bacakan di depan teman-temanku.
Saat Aku membacakannya teman-teman dan ibu Intanpun terhanyut dalam puisiku, dan diantara teman-teman kupun ada yang menangis terharu mendengar aku membacakan puisiku. Aku yang membacakannyapun dengan menitikan air mata, hingga membawa mereka terhanyut dalam puisiku.
Selesai aku membacakan ramai tepukan mereka berikan kepadaku, hingga membuat Aku sendiri yang membacanya terkejut. Mereka menyukai puisiku ibu Intanpun ikut bertepuk tangan dan memanggilku untuk mendekatinya.
“Bagus sekali Sari puisimu, kaupun pandai membacakannya”. Hingga membawa kami ikut menangis mendengarnya”.
Puji bu Intan kepadaku yang telah membacakan puisi dengan baik. Terimaksih bu karena ini sesuai dengan perasaan ku sekarang ini jawab ku pada ibu intan yang melihat wajahku yang basah karena air mata. Iapun menghapus air mataku dengan telapak tangannya kemudian Ia menepuk bahuku.
“Yang sabar ya, ini semua ujian agar Sari bisa lebih dewasa lagi dalam berfikir. Karena dengan ujian itu akan membuat kita lebih dewasa”. Dengan menasehati dan menyemangatiku agar aku tidak larut dalam kesedihan. Akupun mendengarnya tampak lega seolah semua isi hatiku tercurahkan dengan puisi yang Aku tulis dan Aku bacakan.
Akupun dipersilakan ibu Intan kembali kebangku yang mana tampak winda yang bercucuran air mata. Ia ikut menangis dan tampak sedih karena ia sahabat yang mengerti aku.
“Eh kamu mewek ni.  Jelek Tau, ledekku padanya yang melihatku dengan air mata.
“Huh’ kamu membuat aku terharu Sar “. Katanya menghapus air matanya. Dengan menatap mukanya yang tertawa menghapus air matanya.
 “Nah begitu cantik tidak terlihat bawelnya dengan  melihat wajahnya kemudian membuka buku tulisku. Aku melihat nilai seratus yang di berikan ibu Intan kepadaku. Aku sangat senang melihatnya. Aku bisa mendapat nilai lebih dari seperti biasanya. Setelah habis jam pelajaran ibu nita kami melanjutkan pelajaran selanjutnya.
Setelah jam istirahat tiba kami beramai-ramai menuju kantin aku dan winda bergandengan. Wahyu memanggil kami, yang jaraknya cukup jauh dari lapangan basket.

***
Tak terasa sudah sebulan kepergian ibu. Aku Merasakan kado diulang tahunku yang ke-tiga belas tahun kala itu adalah kado terakhir darinya. Kado yang memberikan kenang-kenangan terindah yang tidak akan pernah aku lupakan.
Mimpiku yang pernah aku takutkan kini menjadi nyata, Yang kuasa benar-benar menunjukkan Aku bahwa mimpiku amanat bagiku. Ataukah pertanda akan ada sesuatu menimpa keluargaku yaitu khususnya ibuku. Karena mimpiku itu tentang ibu bukan Aku atau ayahku. Hingga sekarang terjawab suda arti semuanya aku kehilangan orang nomor satu dalam hidupku.
Hingga aku menyelesaikan sekolahku di SMP akupun melanjutkan ke- SLTA Negeri 1 bandung. Setiap aku menginginkan sesuatu ayah selalu memberikannya asalkan yang aku pinta adalah untuk kebaikan diriku bukan merugikan diriku sendiri. Akupun memahami ahal itu hingga Aku meminta apa yang baik untukku. Seminggu sekali kami mengunjungi pemakaman untuk menjenguk
Dalam setiap hari-hariku ayahlah yang menjadi tempat Aku bercerita,  dan berbagi juga ada teman-teman sekolahku yang selalu memberikanku dukungan agar Aku bisa bertahan dengan prestasiku dan meneruskan cita-citaku. Yaitu menjadi seorang dokter muda, yang bisa dibutuhkan oleh masyarakat luas nantinya. Cita-cita itu juga yang diharapkan ayah dariku. Hingga setiap apapun yang Aku pinta untuk keperluan sekolah Ia berikan demi kebaikanku, karena Ia tau Aku anak yang rajin serta mematuhi perintahnya yang tau akan kebaikan untuk masa depanku nantinya.

 Sinopsis : “Last Gift”

Sari seorang gadis yang beranjak dewasa namun tak membuatnya berubah pikirannya untuk mengikuti kehidupan remaja yang penuh dengan hura-hura. Ia selalu mematuhi perintah orang tuanya dan tidak terpengaruh oleh kenakalan remaja yang bisa meracuni pola pikirnya.
            Dia tidak menyangka diusianya yang ke-13 tahun. Ia akan kehilangan orang yang sangat Ia sayangi. Orang yang selalu memberinya motivasi, semangat serta menyayanginya. Iapun merasa sangat terpukul. Namun ayahnya yang selalu memberikan kekuatan agar Ia bisa berpikir lebih dewasa dan menerima dengan iklas apa yang telah dikaruniakan tuhan  pada  mereka.
………………
Oh’ Ibu semoga Tuhan
Memberikan kedamaian di alam sana
Putih kasihmu kan abadi
Dalam hidupku
…………
 Hanya sebuah do’a dan kado terindah disaat Ia berulang tahun, akan Ia jadikan sebagai kenangan serta penyemangat bagi hidupnya. Tidak hanya itu teman-teman disekolahnya juga selalu memberikan dukungan moral agar Ia tetap kuat. Hingga Ia benar-benar  memahami arti kado yang sesungguhnya.


                                                                                                        By'' Sari Chay Um'i
END



Tidak ada komentar:

Posting Komentar